Istilah apa lagi sih ini? ini pertanyaan yang
menggambarkan kekesalan ku pada pemerintah. banyak konsep=konsep pendidikan
yang secara konseptual, aku sadari sungguh mantab dan penuh dengan idealismian.
tetapi sayang di alam realitasnya jauh sepeti apa yang dikonsepkan dalam dunia
pendidikan Indoensia.
Istilah
karakter berasal dari bahasa Yunani, charassein, yang berarti to engrave atau
mengukir. Membentuk karakter diibaratkan seperti mengukir di atas batu permata
atau permukaan besi yang keras. Dari sanalah kemudian berkembang pengertian
karakter yang diartikan sebagai tanda khusus atau pola perilaku.
secara
sederhana pendidikan karakter itu adalah pendidikan akhlak. islam sudah
membahas pendidikan karakter ini jauh lebih dulu, terbukti dengan ungkapan
Rasulullah “ sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan ahlak mansuia “.
pendidikan karakter yang baru-baru ini digaungkan ini adalah imbas dari moral
para peserta didik yang penuh dengan dekandensi moral. terlalu banyak kasus dan
peristiwa yang menggambarkan rusaknya moral para generasi bangsa. mulai vidio jina anak Smp. banyaknya aborsi.
banyaknya penguna obat-obat terlarang darim kalangan pelajar. kasus tawuran para pelajar smk yang baru-baru
ini terjadi. WoOOW luar biasa!!. Hal
inilah yang menjadi “ asbabul nujul “
digaungkannya wacana pentingnya pendidikan
karaker sejak dini.
Komentar Para Pemikir Muslim Mengenai Pendidikan
Karakter
Para
pemikir muslim sejak awal telah mengemukakan pentingnya pendidikan karakter.
Ibn Miskawaih (320-421H/932-1030 M), adalah ulama klasik yang mendalami
filsafat etika sehingga dikenal sebagai Bapak Etika Islam. Dalam bukunya yang
berjudul Tahdzib al-Akhlaq Ibn Miskawaih mengemukakan
pentingnya dalam diri manusia menanamkan kualitas-kualitas akhlak dan
melaksanakannya dalam tindakan-tindakan utama secara spontan. Menurutnya,
akhlak adalah "keadaan jiwa yang menyebabkan seseorang bertindak
tanpa dipikirkan terlebih dahulu”. Ia menyebutkan adanya dua sifat yang
menonjol dalam jiwa manusia, yaitu sifat buruk dari jiwa yang pengecut,
sombong, dan penipu, dan sifat jiwa yang cerdas yaitu adil, pemberani, pemurah,
sabar, benar, tawakal, dan kerja keras”.
Al-Ghazali (1058-1111M) “ akhlak harus menetap dalam jiwa
dan perbuatan itu muncul dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran yang mendalam
atau penelitian terlebih dahulu. Akhlak bukan merupakan "perbuatan",
bukan "kekuatan", bukan "ma'rifah" (mengetahui dengan
mendalam). Yang lebih sepadan dengan akhlak itu adalah "hal" keadaan
atau kondisi jiwa yang bersifat bathiniah
Pendapat Para Pimikir Barat Mengenai Pendidikan
Karakter
Socrates
(469-399 SM) menyatakan bahwa tujuan pendidikan yang paling mendasar membentuk
individu menjadi baik dan cerdas (good and smart). “Goodness is
knowledge … to be good at something os a matter of knowledge".
Plato
(428-348 SM), murid Socrates merefleksikan pemikiran gurunya untuk hal yang
lebih makro dari sekedar kebajikan individu menjadi negarawan yang baik . Dalam
bukunya yang terkenal, Republic, ia mengungkapkan idenya tentang pendidikan,
bahwa agar anak dapat meraih kebenaran dan kebajikan diperlukan pedoman yang
jelas moral agar dapat diaplikasikan dalam kehidupan.
Aristoteles
(384-322 SM), murid Plato juga mengarahkan pendidikan kepada kebajikan atau
nilai (virtue) individu. Kebajikan atau nilai (virtue) itu mengandung
dua aspek yaitu intelektual dan moral. “Intelectual virtue in the main owes
both its birth and its growth to teaching, while moral virtue comes about as a
result of habit.” (Charless Hummel, Aristotle, p.2).
Emile Durkheim (1858
–1917) seorang sosiolog dari Prancis mengatakan, bahwa masyarakat harus
memiliki nilai-nilai yang baik sebagai kontribusi warisan moral. Lebih jauh ia
mengatakan,“Society must have some good to achieve, an original contribution
to bring to the moral patrimony of mankind. Idleness is a bad counselor for
collectivities as well was individual. When individual activity does not know
where to take hold, it turns against itself. When the moral forces of a society
remain unemployed, when they are not engaged in some work to accomplish, they
deviate from their moral sense and are used up in a morbid and harmful manner.”(Emile
Durkheim, Moral Education, London: Free Press of Glencoe, 1973, p.
13)
Sebuah Renungan mengenai pendidikan karakter
ada sebuah kaidah
dalam pendidikan islam, yang digaungkan para ulama, yang memilki nilai
pelajaran yang sangat dalam untuk direnungkan.
الطٙارِقاةُ اٙهٙم٘ مِنٙ المٙآدّةِ وٙالمُدّٙرِّسِ اٙهٙم٘
مِنٙ
الطّٙارِقٙةِ وٙالرُوْحُ المُدٙرس اٙهٙم٘ المُدٙرس
Metode lebih penting dari pada
Materi Ilmu, dan Pengajar lebih penting dari pada sebuah Metode. dan Ruh
Pengajar lebih Penting dari pada Pengajar.
Sungguh sala satu kelebihan ulama
adalah, perkataannya ringkas tetapi
maknanya sungguh sangat dalam. Kaidah membuka alam pikir kita untuk melihat
dunia pendidikan secara konseptual. sebuah metode yang bagus yang digunkan oleh
seorang pengajar lebih penting dari pada materi, walaupun materinya sederhana
tetapi jika dikemas dengan metode penyampaian yang bagus pasti akan membuat
peserta didik terkesan. akan tetapi pengajar posisinya lebih tinggi dan lebih
tinggi dari sebuah metode. kenapa?? karena apalah guna metode yang bagus tetapi
tidak ada yang menggunkan metode tersebut, yaitu guru. dan hirarkis selanjutnya
adalah ruh pengajar lebih penting dan lebih berharga dari pada pengajar itu
sendiri. ruh pengajar ( karakter mulia pengajar ) adalah inti perubahan. ruh
atau mentalitas jiwa merupakan setruman yang dahsat untuk membentuk karakter
para peserta didik.
Ruh seorang guru adalah pewarna jiwa
peserta didik, ada sebuah ungkapan “ bila guru kencing berlari maka murid akan
mengencingi guru “. karakter guru yang rusak yang tidak menggambarkan pfopil
guru teladan pasti akan melahirkan peserta didik yang rusak. hati akan dapat
disentuh dengan hati “ hate can be touched by heart “. jika pengajar tidak tidak menggunkan hati
dalam pembelajarannya maka pasti akan sulit untuk menyentuh jiwa dan mewarnai
karakter peserta didik.
salah satu problem solving untuk
membangun mentalitas yang luhur para peserta didik adalah denga memulainya dari para aktivis pendidikan itu
sendiri. peserta didik tidak akan menjadi “ bernafsu “ membaca buku-buku jika
gurunya tidak suka baca buku, peserta didik tidak akan disiplin jika gurunya
sendiripun tidak disiplin tepat waktu kesekolah. peserta didik tidak akan
menjalin hubungan yang mesra dengan Allah jika gurunya sendiri sholatnya terbenhgkalai.
Soo sala satu faktor pembangunan karakter peserta didik di awali dari
Insan_insan Aktivis pendidikan itu sendiri untuk memberi Tauladan dan
mengaflikasikan konsep Ilmu itu ke dalam dunia nyata yang tervisualisasikan
oleh para peserta didik.
maju mundurnya sebuah negara
tergantung kualitas para guru-gurunya selaku Agent of Changenya negara menuju
Indonesia yang lebih baik. ingatkan ?. perdana mentri jepang ketika hirosima
dan nagasaki dibom. pertanyaan yang diajukan pertama kali diajukan adalah, “
berapa orang lagi guru yang masih hidup “ pendidikan lah yang menjadikan jepang
lebih progres perkembanganya lebih cepat dari pada Indonesia. dan perubahan ke
arah yang lebih baik itu diawali dari personil-personil aktivis pendidikan itu
sendiri yaitu Guru. Semoga kita menjadi para agent of Change yang memilki
kemurnian jiwa. karater yang agung dan selalu ingin berkontirbusi sebagai
ivestasi untuk hidup dan kehidupan demi mendapatkan kehidupan yang Full nikmat
dan keberkahan di dunia dan diakhirat. Aamiin.
0 komentar:
Posting Komentar