Jumat, 12 Oktober 2012

PENDIDIKAN KARAKTER … mmm " $ % @ *_* ???




                Istilah apa lagi sih ini? ini pertanyaan yang menggambarkan kekesalan ku pada pemerintah. banyak konsep=konsep pendidikan yang secara konseptual, aku sadari sungguh mantab dan penuh dengan idealismian. tetapi sayang di alam realitasnya jauh sepeti apa yang dikonsepkan dalam dunia pendidikan Indoensia.
            
Istilah karakter berasal dari bahasa Yunani, charassein, yang berarti to engrave atau mengukir. Membentuk karakter diibaratkan seperti mengukir di atas batu permata atau permukaan besi yang keras. Dari sanalah kemudian berkembang pengertian karakter yang diartikan sebagai tanda khusus atau pola perilaku.
           
secara sederhana pendidikan karakter itu adalah pendidikan akhlak. islam sudah membahas pendidikan karakter ini jauh lebih dulu, terbukti dengan ungkapan Rasulullah “ sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan ahlak mansuia “. pendidikan karakter yang baru-baru ini digaungkan ini adalah imbas dari moral para peserta didik yang penuh dengan dekandensi moral. terlalu banyak kasus dan peristiwa yang menggambarkan rusaknya moral para generasi bangsa.  mulai vidio jina anak Smp. banyaknya aborsi. banyaknya penguna obat-obat terlarang darim kalangan pelajar.  kasus tawuran para pelajar smk yang baru-baru ini terjadi. WoOOW luar biasa!!.  Hal inilah yang menjadi “ asbabul nujul “  digaungkannya  wacana pentingnya pendidikan karaker sejak dini.

Komentar Para Pemikir Muslim Mengenai Pendidikan Karakter
           
Para pemikir muslim sejak awal telah mengemukakan pentingnya pendidikan karakter. Ibn Miskawaih (320-421H/932-1030 M), adalah ulama klasik yang mendalami filsafat etika sehingga dikenal sebagai Bapak Etika Islam. Dalam bukunya yang berjudul Tahdzib al-Akhlaq Ibn Miskawaih mengemukakan pentingnya dalam diri manusia menanamkan kualitas-kualitas akhlak dan melaksanakannya dalam tindakan-tindakan utama secara spontan. Menurutnya, akhlak adalah "keadaan jiwa yang menyebabkan seseorang bertindak tanpa dipikirkan terlebih dahulu”. Ia menyebutkan adanya dua sifat yang menonjol dalam jiwa manusia, yaitu sifat buruk dari jiwa yang pengecut, sombong, dan penipu, dan sifat jiwa yang cerdas yaitu adil, pemberani, pemurah, sabar, benar, tawakal, dan kerja keras”.
           
Al-Ghazali (1058-1111M) akhlak harus menetap dalam jiwa dan perbuatan itu muncul dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran yang mendalam atau penelitian terlebih dahulu. Akhlak bukan merupakan "perbuatan", bukan "kekuatan", bukan "ma'rifah" (mengetahui dengan mendalam). Yang lebih sepadan dengan akhlak itu adalah "hal" keadaan atau kondisi jiwa yang bersifat bathiniah

Pendapat Para Pimikir Barat Mengenai Pendidikan Karakter

Socrates (469-399 SM) menyatakan bahwa tujuan pendidikan yang paling mendasar membentuk individu menjadi baik dan cerdas (good and smart). “Goodness is knowledge … to be good at something os a matter of knowledge".
            
Plato (428-348 SM), murid Socrates merefleksikan pemikiran gurunya untuk hal yang lebih makro dari sekedar kebajikan individu menjadi negarawan yang baik . Dalam bukunya yang terkenal, Republic, ia mengungkapkan idenya tentang pendidikan, bahwa agar anak dapat meraih kebenaran dan kebajikan diperlukan pedoman yang jelas moral agar dapat diaplikasikan dalam kehidupan.

Aristoteles (384-322 SM), murid Plato juga mengarahkan pendidikan kepada kebajikan atau nilai (virtue) individu. Kebajikan atau nilai (virtue) itu mengandung dua aspek yaitu intelektual dan moral. “Intelectual virtue in the main owes both its birth and its growth to teaching, while moral virtue comes about as a result of habit.” (Charless Hummel, Aristotle, p.2).  

Emile Durkheim (1858 –1917) seorang sosiolog dari Prancis mengatakan, bahwa masyarakat harus memiliki nilai-nilai yang baik sebagai kontribusi warisan moral. Lebih jauh ia mengatakan,“Society must have some good to achieve, an original contribution to bring to the moral patrimony of mankind. Idleness is a bad counselor for collectivities as well was individual. When individual activity does not know where to take hold, it turns against itself. When the moral forces of a society remain unemployed, when they are not engaged in some work to accomplish, they deviate from their moral sense and are used up in a morbid and harmful manner.”(Emile Durkheim, Moral Education, London: Free Press of Glencoe, 1973, p. 13)

Sebuah Renungan mengenai pendidikan karakter

ada sebuah kaidah dalam pendidikan islam, yang digaungkan para ulama, yang memilki nilai pelajaran yang sangat dalam untuk direnungkan.
الطٙارِقاةُ اٙهٙم٘  مِنٙ المٙآدّةِ وٙالمُدّٙرِّسِ اٙهٙم٘  مِنٙ الطّٙارِقٙةِ وٙالرُوْحُ المُدٙرس اٙهٙم٘ المُدٙرس

Metode lebih penting dari pada Materi Ilmu, dan Pengajar lebih penting dari pada sebuah Metode. dan Ruh Pengajar lebih Penting dari pada Pengajar.
           
Sungguh sala satu kelebihan ulama adalah,  perkataannya ringkas tetapi maknanya sungguh sangat dalam. Kaidah membuka alam pikir kita untuk melihat dunia pendidikan secara konseptual. sebuah metode yang bagus yang digunkan oleh seorang pengajar lebih penting dari pada materi, walaupun materinya sederhana tetapi jika dikemas dengan metode penyampaian yang bagus pasti akan membuat peserta didik terkesan. akan tetapi pengajar posisinya lebih tinggi dan lebih tinggi dari sebuah metode. kenapa?? karena apalah guna metode yang bagus tetapi tidak ada yang menggunkan metode tersebut, yaitu guru. dan hirarkis selanjutnya adalah ruh pengajar lebih penting dan lebih berharga dari pada pengajar itu sendiri. ruh pengajar ( karakter mulia pengajar ) adalah inti perubahan. ruh atau mentalitas jiwa merupakan setruman yang dahsat untuk membentuk karakter para peserta didik.
            
Ruh seorang guru adalah pewarna jiwa peserta didik, ada sebuah ungkapan “ bila guru kencing berlari maka murid akan mengencingi guru “. karakter guru yang rusak yang tidak menggambarkan pfopil guru teladan pasti akan melahirkan peserta didik yang rusak. hati akan dapat disentuh dengan hati “ hate can be touched by heart “.  jika pengajar tidak tidak menggunkan hati dalam pembelajarannya maka pasti akan sulit untuk menyentuh jiwa dan mewarnai karakter peserta didik.
            
salah satu problem solving untuk membangun mentalitas yang luhur para peserta didik adalah denga  memulainya dari para aktivis pendidikan itu sendiri. peserta didik tidak akan menjadi “ bernafsu “ membaca buku-buku jika gurunya tidak suka baca buku, peserta didik tidak akan disiplin jika gurunya sendiripun tidak disiplin tepat waktu kesekolah. peserta didik tidak akan menjalin hubungan yang mesra dengan Allah jika gurunya sendiri sholatnya terbenhgkalai. Soo sala satu faktor pembangunan karakter peserta didik di awali dari Insan_insan Aktivis pendidikan itu sendiri untuk memberi Tauladan dan mengaflikasikan konsep Ilmu itu ke dalam dunia nyata yang tervisualisasikan oleh para peserta didik.
            
maju mundurnya sebuah negara tergantung kualitas para guru-gurunya selaku Agent of Changenya negara menuju Indonesia yang lebih baik. ingatkan ?. perdana mentri jepang ketika hirosima dan nagasaki dibom. pertanyaan yang diajukan pertama kali diajukan adalah, “ berapa orang lagi guru yang masih hidup “ pendidikan lah yang menjadikan jepang lebih progres perkembanganya lebih cepat dari pada Indonesia. dan perubahan ke arah yang lebih baik itu diawali dari personil-personil aktivis pendidikan itu sendiri yaitu Guru. Semoga kita menjadi para agent of Change yang memilki kemurnian jiwa. karater yang agung dan selalu ingin berkontirbusi sebagai ivestasi untuk hidup dan kehidupan demi mendapatkan kehidupan yang Full nikmat dan keberkahan di dunia dan diakhirat. Aamiin.

0 komentar:

Posting Komentar