QuoteKU
“Saya benci kutipan. Katakan saja apa yang
kau ketahui.” (Ralph Waldo Emerson)
“Sains
hanyalah setitik dari luasnya hakikat alam semesta. Marilah kita mendengar
pendapat alternatif tanpa peduli benar tidaknya. Demi mengintip luasnya
samudera ilmu yang masih menjadi misteri.” (Agulinovich)
“Sains
adalah ilmu pengetahuan yang tertata rapi. Sedangkan kebijaksanaan adalah
kehidupan yang tersusun indah.” (Imanuel Kant)
“Sains
tidak bisa memecahkan misteri tertinggi Alam. Sebab menurut analisis terakhir,
kita sendiri merupakan bagian dari misteri yang tengah coba kita pecahkan.” (Max Planck) (Sumber: Michio
Kaku, Dunia Paralel (diterjemahkan oleh Jookut dkk.), Bumi:
SeSa Media, 2010, hal. 167)
“Sains
tanpa agama adalah pincang. Tapi agama tanpa sains adalah buta.” (Albert Einstein) (Sumber:
Michio Kaku, Dunia Paralel (diterjemahkan oleh Jookut dkk.),
Bumi: SeSa Media, 2010, hal. 345)
”Sains
adalah persamaan diferensial. Agama adalah kondisi batas.” (Alan Turing) (Sumber: John D.
Barrow, New Theories of Everything, New York: Oxford University
Press, 2007, hal. 44)
“Sains
bukan hanya cocok dengan spiritualitas; ia merupakan sumber mendalam
spiritualitas.”(Carl
Sagan) (Sumber: Nancy K. Frankenberry (Editor), The Faith of Scientists
in Their Own Words, New Jersey: Princeton University Press, 2008,
hal. 224)
“Sains
hanya bisa dibentuk oleh mereka yang sepenuhnya dikaruniai aspirasi menuju
kebenaran dan pemahaman. Namun, sumber perasaan ini bersemi dari bidang agama.
Untuk ini, mesti ada pula keyakinan terhadap kemungkinan bahwa peraturan yang
valid untuk dunia eksistensi adalah rasional, yaitu, dapat dimengerti oleh
akal. Saya tak bisa membayangkan seorang ilmuwan sejati yang tak memiliki
keyakinan mendalam tersebut.” (Albert Einstein) (Sumber:
Nancy K. Frankenberry (Editor), The Faith of Scientists in Their
Own Words, New Jersey: Princeton University Press, 2008, hal. xv)
“Saya
belum menemukan ungkapan yang lebih baik daripada “relijius” untuk keyakinan
terhadap sifat rasional realitas, sepanjang dapat dicapai oleh akal manusia.
Kapanpun perasaan ini tak hadir, sains merosot menjadi empirisme tak
bergairah.” (Albert Einstein) (Sumber: Nancy K. Frankenberry (Editor), The
Faith of Scientists in Their Own Words, New Jersey: Princeton
University Press, 2008, hal. 152)
“Sedikit
pengetahuan mengenai sains membuat anda menjadi atheis, dan pengetahuan sains
yang mendalam menjadikan Anda percaya kepada Tuhan.” (Sir Francis)
“[Alam
semesta] tidak dapat dibaca sampai kita mempelajari bahasanya dan akrab dengan
karakter tulisannya. Ia tertulis dalam bahasa matematika, huruf-hurufnya adalah
segitiga, lingkaran, dan gambar geometris lain, tanpanya, secara manusiawi
mustahil untuk memahami sepatah kata pun.” (Galileo Galilei) (Sumber:
Michio Kaku, Dunia Paralel (diterjemahkan oleh Jookut dkk.),
Bumi: SeSa Media, 2010, hal. 226)
“Hukum
alam ditulis oleh tangan Tuhan dalam bahasa matematika.” (Galileo Galilei) (Sumber:
Walter L. Bradley, Is There Scientific Evidence for the Existence of
God?, hal. 8)
“Pengalaman
melewati jalan panjang meyakinkan Einstein bahwa matematika bisa menjadi kawat
telegraf menuju Tuhan.” (Dennis Overbye) (Sumber: Dennis Overbye, Misteri Alam
Semesta (diterjemahkan oleh Jookut dkk.), Bumi: SeSa Media, 2010, hal.
85)
“Tujuan
utama semua penyelidikan dunia eksternal adalah menemukan tatanan rasional dan
harmoni yang telah diberlakukan padanya oleh Tuhan dan yang Dia ungkapkan
kepada kita dalam bahasa matematika.” (Johannes Kepler) (Sumber:
Walter L. Bradley, Is There Scientific Evidence for the Existence of
God?, hal. 7-8)
“Sedikit-banyak,
hukum fisika terlihat analogis dengan grammar dan bahasa yang Tuhan pilih
gunakan.” (Don Page) (Sumber: Michio Kaku, Dunia Paralel (diterjemahkan
oleh Jookut dkk.), Bumi: SeSa Media, 2010, hal. 356)
“Fisikawan
merupakan satu-satunya ilmuwan yang bisa mengucapkan kata ‘Tuhan’ dan tidak
merasa malu.” (Teolog Paul Tillich) (Sumber: Michio Kaku, Dunia Paralel (diterjemahkan
oleh Jookut dkk.), Bumi: SeSa Media, 2010, hal. 357)
“Secara
pribadi, dari sudut pandang ilmiah murni, saya pikir mungkin argumen paling
kuat untuk eksistensi Tuhannya Spinoza dan Einstein datang dari teologi…” (Michio Kaku) (Sumber: Michio
Kaku, Dunia Paralel (diterjemahkan oleh Jookut dkk.), Bumi:
SeSa Media, 2010, hal. 358)
“Betul,
fisikawan berdiri sendirian di antara ilmuwan dalam memecahkan salah satu
pertanyaan terbesar manusia: apakah terdapat rancangan besar? Dan jika
demikian, apakah ada perancang? Jalur mana yang benar untuk menuju kebenaran,
akal atau wahyu? Teori string memperkenankan kita untuk memandang partikel
subatom sebagai not pada string yang bervibrasi; hukum kimia sama dengan melodi
yang bisa dimainkan oleh seseorang dengan string-string ini; hukum fisika sama
dengan hukum harmoni yang mengatur string-string ini; alam semesta adalah
simfoni string; dan pikiran Tuhan dapat dipandang sebagai musik string yang
bervibrasi ke seluruh hyperspace. Jika analogi ini valid, seseorang pasti
mengajukan pertanyaan berikutnya: apakah ada komposernya? Apakah seseorang
merancang teori untuk memperkenankan keberlimpahan alam semesta potensial yang
kita jumpai dalam teori string? Bila alam semesta adalah seperti jam yang
disetel halus, adakah pembuat jam ini?” (Michio Kaku) (Sumber: Michio
Kaku, Dunia Paralel (diterjemahkan oleh Jookut dkk.), Bumi:
SeSa Media, 2010, hal. 357)
“Dalam
perbendaharaan kosakata baru ini, hukum ilmu fisika, yang dibangun secara
hati-hati setelah ribuan tahun eksperimen, tidak berarti apa-apa selain hukum
harmoni yang bisa ditulis seseorang untuk string dan membran. Hukum ilmu kimia
adalah melodi yang bisa dimainkan oleh seseorang dengan string ini. Alam
semesta adalah simfoni senar. Dan “Pikiran Tuhan”, yang Einstein tulis dengan
jelas, adalah musik kosmik yang menggema ke seluruh hyperspace. Ini menimbulkan
pertanyaan: Jika alam semesta merupakan sebuah simfoni senar, maka apakah ada
komposernya?” (Michio Kaku) (Sumber: Michio Kaku, Dunia Paralel(diterjemahkan
oleh Jookut dkk.), Bumi: SeSa Media, 2010, hal. 34)
“Sistem
matahari, planet, dan komet terindah hanya bisa berawal dari nasehat dan
kendali Entitas cerdas dan berkuasa.” (Newton) (Sumber: Michio Kaku, Dunia
Paralel (diterjemahkan oleh Jookut dkk.), Bumi: SeSa Media, 2010, hal.
345)
“Betul,
Isaac Newton sendiri, yang memperkenalkan konsep hukum tetap yang memandu
planet-planet dan bintang-bintang tanpa intervensi tuhan, percaya bahwa
keeleganan hukum ini mengarah pada eksistensi Tuhan.” (Michio Kaku) (Sumber: Michio
Kaku, Dunia Paralel(diterjemahkan oleh Jookut dkk.), Bumi: SeSa
Media, 2010, hal. 256)
“Keteraturan
menawan yang diperlihatkan oleh pemahaman kita atas dunia fisik menuntut adanya
ketuhanan.” (Vera Rubin) (Sumber: Michio Kaku, Dunia Paralel (diterjemahkan
oleh Jookut dkk.), Bumi: SeSa Media, 2010, hal. 256)
“Mengingat
keharmonian sedemikian luar biasa yang mampu saya identifikasi di kosmos,
dengan pikiran terbatas saya sebagai manusia, masih saja ada orang-orang yang
mengatakan tidak ada Tuhan. Tapi yang betul-betul membuat saya marah adalah
mereka mengutip saya untuk mendukung pandangan semacam itu.” (Albert Einstein)
“Apakah
mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka
sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu?; sebenarnya
mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan).” (QS ath-Thuur [52]: 35-36)
“Dan
mereka berkata: ‘Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja,
kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain
masa,’ dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka
tidak lain hanyalah menduga-duga saja.” (QS al-Jaatsiyah [45]: 24)
“Alam
semesta bukan hanya ‘dunia tua’, tapi juga istimewa dan disetel halus untuk
kehidupan karena ia merupakan ciptaan Tuhan yang berkehendak demikian.” (Pendeta John Polkinghorne)
(Sumber: Michio Kaku, Dunia Paralel (diterjemahkan oleh Jookut
dkk.), Bumi: SeSa Media, 2010, hal. 256)
“Bagi
Newton, alam semesta adalah seperti jam raksasa yang diputar di permulaan masa
oleh Tuhan dan mendetak sejak saat itu, menurut tiga hukum geraknya, tanpa
campur tangan Tuhan. Tapi sesekali, Tuhan sendiri harus sedikit mengintervensi
dan men-tweak alam semesta, untuk mencegahnya kolaps. (Dengan kata lain,
terkadang Tuhan harus mengintervensi untuk mencegah set panggung kehidupan
kolaps di atas para aktor.)” (Michio Kaku) (Sumber: Michio
Kaku, Dunia Paralel (diterjemahkan oleh Jookut dkk.), Bumi:
SeSa Media, 2010, hal. 42)
“Jika
laju perluasan satu detik setelah big bang lebih kecil sebesar 1 bagian dalam
100.000.000.000, [alam semesta] akan kolaps kembali sebelum ia mencapai
ukurannya yang sekarang… Kemungkinan alam semesta seperti punya kita untuk
tidak muncul dari sesuatu seperti big bang adalah besar sekali. Saya pikir
terdapat implikasi relijius yang nyata.”(Stephen Hawking) (Sumber: Michio Kaku, Dunia
Paralel (diterjemahkan oleh Jookut dkk.), Bumi: SeSa Media, 2010, hal.
349)
“Mengapa
ada sesuatu, daripada tidak ada? Kegelisahan yang membuat jam metafisika terus
berjalan adalah pemikiran bahwa ketidakeksisan dunia sama mungkinnya dengan
keeksisannya.” (William James) (Sumber: Michio Kaku, Dunia Paralel (diterjemahkan
oleh Jookut dkk.), Bumi: SeSa Media, 2010, hal. 344)
“Di
permulaan alam semesta, ia menjadi ada karena diamati. Artinya “it” (materi di
alam semesta) menjadi eksis ketika informasi (“bit”) alam semesta diamati.” (John Wheeler) (Sumber: Michio
Kaku, Dunia Paralel (diterjemahkan oleh Jookut dkk.), Bumi:
SeSa Media, 2010, hal. 182)
“Dr.
Alexander Vilenkin, fisikawan Universitas Tufts di Somerville, Massachusetts,
menyamakan alam semesta dengan sebuah gelembung dalam panci berisi air
mendidih. Sebagaimana pada air, hanya gelembung-gelembung berukuran tertentu
yang akan bertahan dan mengembang, yang lebih kecil akan kolaps. Jadi, dalam
pembentukan, alam semesta harus melompat dari tanpa ukuran sama sekali – radius
nol, ‘tanpa ruang dan tanpa waktu’ – menuju radius cukup besar untuk terjadinya
inflasi tanpa melewati ukuran perantara, sebuah proses mekanis quantum yang
disebut “tunneling” (penembusan/penerowongan).” (Dennis Overbye) (Sumber:
Dennis Overbye, Misteri Alam Semesta (diterjemahkan oleh
Jookut dkk.), Bumi: SeSa Media, 2010, hal. 41-42)
“Apa
yang Tuhan lakukan sebelum Dia menciptakan dunia? Filsuf dan penulis (dan
kemudian menjadi santo) Augustine mengajukan pertanyaan ini dalam
Confessions-nya di abad keempat, dan kemudian memajukan sebuah jawaban yang,
secara mengejutkan, modern: sebelum Tuhan menciptakan dunia tidak ada
masa/waktu dan karenanya tidak ada ‘sebelum’. Menurut ungkapan Gertrude Stein,
saat itu tidak ada ‘saat itu’.” (Dennis Overbye) (Sumber:
Dennis Overbye, Misteri Alam Semesta (diterjemahkan oleh
Jookut dkk.), Bumi: SeSa Media, 2010, hal. 37)
”Dengan
demikian pasti dunia diciptakan, bukan dalam waktu, tapi serempak bersama
waktu. Diciptakan dalam waktu [yang saya maksud] adalah diciptakan setelah
maupun sebelum suatu waktu—setelah masa lampau, sebelum masa depan. Tapi kalau
begitu tak ada masa lampau, sebab tak ada makhluk, yang durasi pergerakannya
bisa diukur. Jadi serempak bersama waktulah dunia diciptakan.” (St. Augustine) (Sumber: John D.
Barrow, New Theories of Everything, New York: Oxford University
Press, 2007, hal. 77)
“Bagi
saya sebagai seorang manusia, tak terpikir untuk mengklaim bahwa alam semesta
ada tanpa pengamat. Kita adalah bersama-sama, alam semesta dan kita. Tatkala
Anda berkata bahwa alam semesta eksis tanpa pengamat, saya tidak bisa
mencernanya. Saya tidak bisa membayangkan sebuah theory of everything konsisten
yang mengabaikan kesadaran. Suatu perangkat perekam tidak dapat memainkan peran
seorang pengamat, sebab siapa yang akan membaca apa yang tertulis di perangkat
perekam ini. Agar kita bisa melihat bahwa sesuatu terjadi, dan saling
mengatakan kepada yang lain bahwa sesuatu terjadi, Anda harus memiliki alam
semesta, Anda harus memiliki perangkat perekam, dan Anda harus memiliki kita…
Tanpa adanya pengamat, alam semesta kita mati.” (Andrei Linde) (Sumber: Michio
Kaku, Dunia Paralel (diterjemahkan oleh Jookut dkk.), Bumi:
SeSa Media, 2010, hal. 176)
“Akan
sangat malang menjadi atom di alam semesta tanpa fisikawan. Dan fisikawan
sendiri terbuat dari atom. Fisikawan adalah cara atom mengenal atom.” (George Wald) (Sumber: Michio
Kaku, Dunia Paralel (diterjemahkan oleh Jookut dkk.), Bumi:
SeSa Media, 2010, hal. 351)
“Tidak
mungkin merumuskan hukum mekanika quantum dengan cara yang konsisten
sepenuhnya, tanpa merujuk pada kesadaran [pengamat]…studi dunia eksternal yang
membawa pada kesimpulan bahwa kandungan kesadaran adalah realitas pokok.” (Eugene Wigner) (Sumber: Michio
Kaku, Dunia Paralel (diterjemahkan oleh Jookut dkk.), Bumi:
SeSa Media, 2010, hal. 176)
“Tapi
jika saya melakukan pengamatan, siapa/apa yang akan menetapkan dalam kondisi
mana saya berada? Artinya seorang lain harus mengamati saya untuk mengkolapskan
fungsi gelombang saya. Ini terkadang disebut sebagai ‘temannya Wigner’. Tapi
ini juga berarti bahwa seseorang harus mengamati temannya Wigner, dan temannya
temannya Wigner, dan seterusnya. Apakah terdapat suatu kesadaran kosmik yang
menentukan seluruh rentetan teman ini dengan mengamati seluruh alam semesta?” (Michio Kaku) (Sumber: Michio
Kaku,Dunia Paralel (diterjemahkan oleh Jookut dkk.), Bumi: SeSa Media,
2010, hal. 176)
“Dunia
sains quantum memberikan banyak keterangan mengenai persoalan peran kita di
alam semesta, tapi dari sudut pandang berbeda. Jika seseorang menganut
interpretasi Wigner atas persoalan kucing Schrödinger, maka kita harus
memperhatikan peran kesadaran di mana-mana. Rantai pengamat yang tak berujung,
masing-masing menatap pengamat sebelumnya, akhirnya membawa kepada pengamat
kosmik, mungkin Tuhan sendiri. Dalam gambaran ini, alam semesta eksis lantaran
ada Tuhan yang mengamatinya. Dan jika interpretasi Wheeler benar, maka seluruh
alam semesta didominasi oleh informasi dan kesadaran. Menurut gambarannya,
kesadaran adalah kekuatan dominan yang menentukan sifat eksistensi.” (Michio Kaku) (Sumber: Michio
Kaku, Dunia Paralel (diterjemahkan oleh Jookut dkk.), Bumi:
SeSa Media, 2010, hal. 350)
“Sudut
pandang Wigner, pada gilirannya, menuntun Ronnie Knox menulis syair tentang
pertemuan antara seorang skeptik dan Tuhan, merenungkan apakah sebuah pohon
eksis di halaman berkeliling tembok apabila tak ada seorang pun di sana yang
mengamatinya:
Suatu kali ada seseorang berkata, “Tuhan
pasti menganggap luar biasa ganjil
jika Dia mendapati pohon ini
terus ada
padahal tak ada seorang pun di Alun-alun.”
pasti menganggap luar biasa ganjil
jika Dia mendapati pohon ini
terus ada
padahal tak ada seorang pun di Alun-alun.”
Seorang
pelawak anonim kemudian menulis jawaban berikut:
Tuan yang terhormat, ketakjuban Anda ganjil
Aku selalu ada di Alun-alun
dan itulah mengapa pohon tersebut
akan senantiasa ada,
sebab diamati oleh Sahabat setia Anda—Tuhan
Aku selalu ada di Alun-alun
dan itulah mengapa pohon tersebut
akan senantiasa ada,
sebab diamati oleh Sahabat setia Anda—Tuhan
Dengan
kata lain, pepohonan eksis di halaman berkeliling tembok karena seorang
pengamat quantum senantiasa di sana untuk mengkolapskan fungsi
gelombangnya—Tuhan sendiri.”(Michio Kaku) (Sumber: Michio Kaku, Dunia
Paralel (diterjemahkan oleh Jookut dkk.), Bumi: SeSa Media, 2010, hal.
350-351)
“Menurut
mekanika quantum biasa, sebuah elektron bisa dianggap tersebar di semua ruang
sampai ia terukur dan teramati berada di suatu lokasi tertentu. Demikian pula,
alam semesta kita tersebar di seluruh superspace sampai ia, entah bagaimana,
teramati memiliki satu set sifat dan hukum yang khusus. Ini memunculkan
pertanyaan besar lainnya. Karena tak ada seorang pun yang bisa melangkah ke
luar alam semesta, siapa yang akan melakukan pengamatan?” (Dennis Overbye) (Sumber:
Dennis Overbye, Misteri Alam Semesta(diterjemahkan oleh Jookut
dkk.), Bumi: SeSa Media, 2010, hal. 40)
“Ketidakpastian
quantum ini adalah kunci untuk memahami mengapa segala sesuatu eksis, bagaimana
sesuatu, alam semesta beserta hukumnya, bisa berasal dari kenihilan. Bagaimana
ada quantum? Bagaimana ada eksistensi?… Kita semua terhipnotis hingga berpikir ada
sesuatu di luar sana.” (John Wheeler) (Sumber: Dennis Overbye, Misteri Alam
Semesta(diterjemahkan oleh Jookut dkk.), Bumi: SeSa Media, 2010, hal. 77)
“Tak
ada ruang, tak ada waktu, tak ada gravitasi, tak ada elektromagnetisme, tak ada
partikel. Kita kembali ke masa di mana Plato, Aristoteles, dan Parmenides
bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan besar: Bagaimana Ada Alam Semesta,
Bagaimana Ada Kita, Bagaimana Ada Segala Sesuatu? Tapi untunglah kita hampir
memiliki jawaban atas pertanyaan ini. Yaitu kita.” (John Wheeler) (Sumber: Dennis
Overbye, Misteri Alam Semesta (diterjemahkan oleh Jookut
dkk.), Bumi: SeSa Media, 2010, hal. 84)
“Saya
sungguh dibuat gila oleh pertanyaan tersebut. Saya akui terkadang saya 100%
serius mengambil ide bahwa dunia adalah kilasan khayalan dan, di saat yang
lain, bahwa dunia betul-betul eksis di luar sana tanpa tergantung kepada kita.
Namun, saya sepenuh hati menganut kata-kata Leibniz, ‘Dunia ini mungkin adalah
ilusi dan eksistensi mungkin hanyalah mimpi, tapi mimpi atau ilusi ini bagi
saya cukup nyata berhubung kita tak pernah ditipu olehnya.’” (John Wheeler) (Sumber: Michio
Kaku, Dunia Paralel (diterjemahkan oleh Jookut dkk.), Bumi:
SeSa Media, 2010, hal. 182)
“Persoalan
filosofis yang mengganggu mekanika quantum biasa kemudian menguat dalam apa
yang disebut kosmologi quantum. Contohnya, sebagaimana dikatakan Dr. Linde, ada
persoalan ayam-dan-telur. Manakah yang muncul lebih dulu: alam semesta, atau
hukum yang mengaturnya? Atau, tanya dia, ‘Jika tidak ada hukum, bagaimana alam
semesta muncul?’”(Dennis
Overbye) (Sumber: Dennis Overbye, Misteri Alam Semesta (diterjemahkan
oleh Jookut dkk.), Bumi: SeSa Media, 2010, hal. 40)
“…Jika
teori string akhirnya terkonfirmasi secara eksperimen sebagai theory of
everything, maka kita harus bertanya dari mana persamaan-persamaannya berasal.
Jika unified field theory sungguh-sungguh unik, sebagaimana diyakini Einstein,
maka kita harus bertanya dari mana keunikan ini berasal. Fisikawan yang
meyakini Tuhan ini percaya bahwa alam semesta begitu indah dan sederhana
sehingga hukum tertingginya tidak mungkin hanya kebetulan. Alam semesta itu
acak sama sekali atau tersusun dari elektron dan neutrino tak bernyawa, tak
mampu menciptakan kehidupan, apalagi makhluk berakal. Jika, sebagaimana
keyakinan saya dan beberapa fisikawan lain, hukum tertinggi realitas dapat
dijelaskan oleh rumus yang mungkin tak lebih dari satu inchi panjangnya, maka
pertanyaannya adalah, dari mana persamaan ini berasal?” (Michio Kaku) (Sumber: Michio
Kaku, Dunia Paralel (diterjemahkan oleh Jookut dkk.), Bumi:
SeSa Media, 2010, hal. 358)
“Mengapa
apel jatuh? Karena ada hukum gravitasi. Mengapa hukum gravitasi? Karena ada
persamaan tertentu yang merupakan bagian dari teori relativitas. Seandainya
suatu hari nanti fisikawan berhasil menuliskan satu persamaan tertinggi yang
melahirkan semua hukum fisika, seseorang masih bisa bertanya, ‘Mengapa
persamaan tersebut?’” (Martin Gardner) (Sumber: Michio Kaku, Dunia Paralel (diterjemahkan
oleh Jookut dkk.), Bumi: SeSa Media, 2010, hal. 358-359)
“Ada
fisikawan-fisikawan quantum yang telah berkesimpulan bahwa konsep Tuhan bukan,
bagaimanapun juga, sekadar khayalan.” (Jane Goodall) (Sumber: Nancy
K. Frankenberry (Editor), The Faith of Scientists in Their Own Words,
New Jersey: Princeton University Press, 2008, hal. 308)
“Komunitas
ilmiah sedang bersiap mempertimbangkan ide penciptaan alam semesta oleh Tuhan
sebagai hipotesis yang lebih terhormat hari ini dibanding masa-masa dalam 100
tahun terakhir lalu.” (Nightline with Ted Koppel di TV ABC, April 24, 1992)
(Sumber: Walter L. Bradley, Is There Scientific Evidence for the
Existence of God?, hal. 26)
“Pandangan
tradisional bahwa initial condition (kondisi awal) adalah untuk kaum agamawan
dan evolution equation (persamaan evolusi) adalah untuk fisikawan tampaknya
telah tergulingkan—setidaknya untuk sementara. Para kosmolog kini bergelut
dalam studi kondisi awal untuk menemukan apakah eksis sebuah ‘hukum’ kondisi
awal, di mana proposal ‘tanpa perbatasan’ hanya akan menjadi satu kemungkinan
contohnya. Ini memang radikal, tapi barangkali tak cukup radikal.
Mengkhawatirkan sekali bahwa begitu banyak konsep dan ide yang dipakai dalam
deskripsi matematis modern—‘penciptaan dari kenihilan’, ‘waktu mewujud
bersamaan dengan Alam Semesta’—adalah sekadar citra halus intuisi manusia dan
kategori pemikiran yang tradisional.” (John D. Barrow) (Sumber: John
D. Barrow, New Theories of Everything, New York: Oxford University Press, 2007,
hal. 92)
“Bagi
seseorang yang memahami Alam Semesta dari sudut pandang final, seluruh
penciptaan akan terlihat sebagai satu-satunya kebenaran dan keharusan.” (J. D’Alembert) (Sumber: Michio
Kaku, Dunia Paralel (diterjemahkan oleh Jookut dkk.), Bumi:
SeSa Media, 2010, hal. 191)
“…kita
mempunyai prinsip antropik, yang menyadarkan kita bahwa sederetan ‘kebetulan’
ajaib membuat kesadaran di alam semesta tiga-dimensi kita menjadi mungkin.
Terdapat pita parameter sempit yang membuat makhluk berakal menjadi kenyataan,
dan kita kebetulan tumbuh subur di pita ini. Stabilitas proton, ukuran bintang,
eksistensi unsur tinggi, dan seterusnya, semuanya terlihat disetel halus untuk
memperkenankan bentuk kehidupan dan kesadaran kompleks. Seseorang dapat
mendebat apakah keadaan kebetulan ini merupakan rancangan atau kebetulan, tapi
tak ada yang bisa membantah penyetelan rumit yang diperlukan untuk memungkinkan
kita.” (Michio Kaku) (Sumber: Michio Kaku, Dunia Paralel(diterjemahkan
oleh Jookut dkk.), Bumi: SeSa Media, 2010, hal. 349)
“Menurut
sifat segala sesuatu, tak ada yang kebetulan, semuanya ditetapkan oleh
keharusan sifat ilahi untuk eksis dan bekerja dengan cara tertentu. Singkatnya,
tak ada yang kebetulan di alam.” (Baruch Spinoza) (Sumber: Nancy
K. Frankenberry (Editor), The Faith of Scientists in Their Own Words,
New Jersey: Princeton University Press, 2008, hal. 145)
“Apakah
manusia hanyalah sebintik debu tak penting di sebuah planet tak penting di sebuah
galaksi tak penting di suatu tempat di luasnya angkasa? Tidak! Keharusan untuk
menghasilkan kehidupan terletak di pusat seluruh mekanisme dan rancangan alam
semesta… Perbedaan sedikitpun pada hukum fisika semisal gravitasi atau
elektromagnetisme akan membuat kehidupan menjadi mustahil.” (John Wheeler) (Sumber: Walter
L. Bradley, Is There Scientific Evidence for the Existence of God?,
hal. 17)
“Astronomi
menuntun kita menuju sebuah peristiwa unik, alam semesta diciptakan dari
ketiadaan dan diseimbangkan secara halus guna menyediakan kondisi yang
dibutuhkan untuk menopang kehidupan. Tanpa kejadian yang luar biasa mustahil,
observasi sains modern mengisyaratkan suatu, boleh dikatakan, rencana
supernatural mendasar.” (Arno Penzias) (Sumber: Arno Penzias, Our Universe:
Accident or Design, Wits 2050, S. Africa: Starwatch, 1992, hal. 42.)
(Sumber: Walter L. Bradley, Is There Scientific Evidence for the
Existence of God?, hal. 25)
“Saat
kita menyelidiki alam semesta dan mengidentifikasi banyak peristiwa fisika dan
astronomi yang telah bekerja untuk kepentingan kita, alam semesta seolah telah
tahu bahwa kita akan datang.” (Freeman J. Dyson, dikutip
dalam buku Barrow dan Tipler, Anthropic Cosmological Principle,
hal. 318) (Sumber: Walter L. Bradley, Is There Scientific Evidence for
the Existence of God?, hal. 25)
“Walaupun
dahulu saya mencela tajam ‘argument perancangan’, sejak saat itu saya paham
bahwa, manakala dirumuskan dengan benar, ini merupakan argumen persuasif untuk
eksistensi Tuhan.” (Anthony Flew) (Sumber: Antony Flew, There is a God,
New York: HarperOne, 2007, hal. 95) (Sumber: Peter S. Williams, The
Anthropic Design Argument, hal. 1)
“Bobot
bukti perancangan ilahi alam semesta kini begitu berlimpah sehingga telah
memaksa astronom dan filsuf yang menolak Tuhan Bibel sebagai Pencipta kosmos
untuk mengusulkan eksistensi alam semesta dalam jumlah tak terhingga.” (Hugh Ross)
“Hipotesis
‘many worlds’-lah yang bersaing dengan ‘kesimpulan perancangan’ (bukan
‘hipotesis perancangan’) untuk menjelaskan observasi alam semesta ‘ramah
kehidupan’, bukan prinsip antropik.” (Peter S. Williams) (Sumber:
Peter S. Williams, The Anthropic Design Argument, hal. 4)
“Jika
benar, ide multiverse akan menjadi…pergolakan kaya dan mengejutkan, tapi dengan
konsekuensi yang berpotensi berbahaya. Selain kesukaran inheren dalam menaksir
validitasnya, kapan kita mesti mengizinkan kerangka multiverse dimintai tolong
dalam penjelasan ilmiah yang lebih tradisional? Seandainya ide ini mengemuka
seratus tahun lalu, mungkinkah periset telah mencatat beragam misteri tentang
bagaimana segala sesuatu berada di pojok multiverse kita dan tidak terdorong
untuk menemukan semua sains ajaib abad lalu? …Bahayanya adalah, jika ide
multiverse tertancap kuat, periset mungkin akan terlalu cepat menyerah dalam
mencari penjelasan pokok. Saat dihadapkan dengan observasi tak terjelaskan,
periset mungkin akan meminta tolong pada kerangka multiverse secara prematur –
menyatakan bahwa suatu fenomena hanya mencerminkan kondisi-kondisi di gelembung
alam semesta kita dan dengan demikian gagal menemukan pemahaman lebih dalam
yang menanti kita…” (Brian Greene) (Sumber: John Brockman (editor), What’s
Your Dangerous Idea?, London: Pocket Books, 2006, hal. 120-121) (Sumber:
Peter S. Williams,The Anthropic Design Argument, hal. 6)
“Penganjur
[teori many worlds] tak pelak lagi digerakkan oleh hasrat menghindari
‘hipotesis Tuhan’, dan, dalam mempergunakan asumsi berlebihan dan tak perlu
tersebut, mereka berkesimpulan bahwa Prinsip Antropik Lemah sudah tak berdaya
mendiskreditkan interpretasi teleologis.” (Guillermo Gonzalez) (Sumber:
Guillermo Gonzalez, Home Alone in the Universe,www.arn.org) (Sumber: Peter S. Williams, The
Anthropic Design Argument, hal. 4)
“Hipotesis
ilmiah ‘multiple worlds’ cuma menggeser persoalan [‘penyetelan halus’] naik
dari level universe ke multiverse. Untuk memahami ini, seseorang hanya harus
mendaftar banyak asumsi yang menopang teori multiverse. Pertama, harus ada
mekanisme penghasil alam semesta… Mekanisme ini seharusnya melibatkan
proses-proses hukum alami – tepatnya ‘nukleasi’ quantum pocket universe dalam
kasus eternal inflation. Tapi itu menimbulkan pertanyaan nyata tentang sumber
hukum quantum (belum lagi hukum gravitasi, termasuk struktur sebab-akibat
ruang-waktu yang padanya hukum tersebut bergantung) yang mengizinkan inflasi.
Dalam teori multiverse standar, hukum penghasil alam semesta diterima begitu
saja: mereka tidak muncul dari teori multiverse… Lebih jauh, jika kita mengakui
bahwa multiverse diprediksikan oleh teori string/teori-M, maka teori tersebut,
dengan bentuk matematisnya yang spesifik, juga harus diterima begitu saja…teori
multiverse [tidak dapat] menyediakan penjelasan lengkap dan final mengapa alam semesta
cocok untuk kehidupan…”(Paul
Davies) (Sumber: Paul Davies, The Goldilocks Enigma: Why is the
universe just right for life?, London: Penguin, 2007, hal. 231-232, 237)
(Sumber: Peter S. Williams, The Anthropic Design Argument, hal. 5)
“Jika
kita mencoba memahami mengapa alam semesta ramah hayati, kita tak terbantu oleh
pemberitahuan bahwa semua alam semesta potensial eksis… Ide multiverse
menggantikan dunia riil yang ditata secara rasional dengan permainan tebak kata
luar biasa rumit dan menjadikan seluruh ide ‘penjelasan’ tersebut tak berarti.” (Antony Flew) (Sumber: Antony
Flew, There is a God, New York: HarperOne, 2007, hal. 118-119)
(Sumber: Peter S. Williams, The Anthropic Design Argument, hal. 5)
“Sekalipun
sebuah generator banyak alam semesta eksis, itu, bersama dengan hukum dan
prinsip latarnya, bisa dikatakan merupakan sistem kompleks…dengan kombinasi
tepat hukum dan medan untuk menghasilkan alam semesta yang mengizinkan
kehidupan: jika salah satu komponen luput atau berbeda…kemungkinan besar alam
semesta yang mengizinkan kehidupan takkan bisa dihasilkan, Dengan tiadanya
penjelasan alternatif, eksistensi sistem semacam itu mengindikasikan
perancangan.” (Robin Collins) (Sumber: Robin Collins, Design and the
Many Worlds Hypothesis, home.messiah.edu) (Sumber: Peter S. Williams, The
Anthropic Design Argument, hal. 5)
“Bagaimanapun
juga, sang perancang mungkin telah menciptakan lebih dari satu alam semesta.
Oleh sebab itu eksistensi alam semesta berlipatganda cocok secara logis dengan
eksistensi perancang alam semesta.” (Peter S. Williams) (Sumber:
Peter S. Williams, The Anthropic Design Argument, hal. 6)
“Dengan
ini kemuliaan Tuhan bertambah besar dan keagungan kerajaan-Nya termanifestasi;
Dia diagungkan bukan di satu matahari, melainkan di matahari yang tak
terbilang; bukan di satu bumi, bukan di satu dunia, melainkan di ribuan ribuan,
saya katakan di dunia yang tak terhingga.” (Giordano Bruno) (Sumber:
Michio Kaku, Dunia Paralel (diterjemahkan oleh Jookut dkk.),
Bumi: SeSa Media, 2010, hal. 346)
“…dalam
pengertian matematis tertentu, model multiverse paling umum (misalnya versi
Level 4-nya Tegmark) adalah ekuivalen secara ontologis dengan deisme naif,
deisme yang saya maksud adalah eksistensi Perancang/Pemilih Kosmik yang secara
bijaksana memilih satu alam semesta riil dari daftar tak terhingga alam semesta
potensial namun tak riil. Sungguh, saya menyangka penjelasan umum multiverse
sebetulnya merupakan deisme naif yang didandani bahasa ilmiah. Keduanya menarik
sistem yang tak dikenal, tak dapat dilihat, dan tak dapat diketahui. Keduanya
mensyaratkan pembuangan informasi yang tak terhingga hanya untuk menjelaskan
alam semesta (terhingga) yang kita amati… Jika saya benar, maka multiverse
hanyalah penyempurnaan deisme naif sebagai penjelasan atas alam semesta fisik.
Ia pada dasarnya keyakinan keagamaan belaka ketimbang argumen ilmiah… Saya
percaya bahwa deisme naif dan konsep umum multiverse akan didapati sebagai
kompleksitas ekuivalen sebab mereka terkandung dalam satu sama lain.” (Paul Davies) (Sumber: Bernard
Carr (Editor),Universe or Multiverse?, Cambridge: Cambridge University
Press, 2007, hal. 495)
“Titik
pangkal semua argumen antropik multiverse adalah eksistensi pengamat. Ini
menimbulkan pertanyaan tentang apa itu pengamat. Saya berasumsi bahwa ‘pengamatan’
adalah produk proses fisikal, contohnya aktivitas elektrokimiawi di otak. Lalu,
pengamat-pengamat mungkin diciptakan secara artifisial melalui teknologi yang
cukup maju. Mungkin ini cuma memerlukan sistem komputasi yang lebih besar dan
lebih baik, sebagaimana diargumentasikan oleh para pendukung Kecerdasan Buatan
hebat; mungkin ini memerlukan bentuk teknologi baru, sebagaimana
diargumentasikan oleh Roger Penrose. Menurut saya, itu tak jadi soal. Di sebuah
multiverse, akan ada subset alam-alam semesta di mana teknologi maju seperti
punya kita muncul, dan sub-subset cukup besar akan memuat sekurangnya satu
peradaban teknologis yang mencapai titik mensimulasikan kesadaran. Itu hanya
langkah kecil dari mensimulasikan kesadaran menuju mensimulasikan komunitas
makhluk sadar dan keseluruhan dunia virtual untuk mereka huni. Gagasan ini
telah dipopulerkan dalam serial film sains fiksi The Matrix. Untuk dunia ‘riil’
tertentu, akan ada dunia-dunia virtual potensial dalam jumlah banyak,
sebetulnya tak terhingga. Pengamat yang terpilih secara acak sangat lebih
mungkin untuk mengalami simulasi virtual daripada simulasi riil. Jadi ada
sedikit alasan untuk mengira bahwa dunia ini (dunia yang Anda dan saya amati
sekarang) tak lain adalah dunia simulasi. Tapi penghuni dunia virtual simulasi
berdiri dalam hubungan ontologis dengan sistem cerdas yang merancang dan
menciptakan dunia mereka sebagaimana manusia berdiri dalam hubungan dengan
Tuhan Perancang/Pencipta tradisional (fakta tidak mempengaruhi para penulis sains
fiksi sejak Olaf Stapledon), tapi kini Tuhan menyamar – bukan sebagai Arsitek
Agung – melainkan sebagai Insinyur Software Agung. Pencipta dunia-dunia virtual
adalah perancang transenden dengan kemampuan menciptakan atau menghancurkan
alam semesta-alam semesta simulasi sekehendak hati, mengubah keadaan di
dalamnya, merencanakan hukum, melakukan mukjizat, dan lain-lain. Beralih ke
ekstrim logisnya, penjelasan multiverse adalah argumen meyakinkan untuk
eksistensi Tuhan (konvensional)! Ini tentu saja ironis, sebab multiverse semula
diminta bantuan untuk, sebagian, menyingkirkan Tuhan demikian.” (Paul Davies) (Sumber: Bernard
Carr (Editor), Universe or Multiverse?, Cambridge: Cambridge
University Press, 2007, hal. 496)
“Dunia
fisik aktual kita, yang di dalamnya sinyal-sinyal akustik atau elektromagnetik
merupakan basis komunikasi, tampaknya dipilih di antara kemungkinan model-model
matematis melalui kesederhanaan intrinsik dan harmoni.” (Richard Courant) (Sumber:
Walter L. Bradley, Is There Scientific Evidence for the Existence of
God?, hal. 9)
“Semakin
manusia menyelidiki hukum yang mengatur alam semesta materil, semakin dia yakin
bahwa beragam bentuknya muncul dari kekuatan beberapa prinsip sederhana.
Prinsip-prinsip ini sendiri berkumpul, dengan gaya berakselerasi, menjadi suatu
hukum yang lebih komprehensif lagi yang kepadanya semua materi tampaknya
tunduk. Meski hukum tersebut sepertinya sederhana, harus diingat bahwa itu
hanyalah salah satu dari tak terhingga banyaknya hukum sederhana: bahwa
masing-masing hukum ini memiliki konsekuensi sekurangnya sama luasnya dengan
hukum yang eksis, dan karenanya Pencipta yang memilih hukum tersekarang pasti
telah meramalkan konsekuensi semua hukum lain.” (Charles Babbage) (Sumber: John
D. Barrow, New Theories of Everything, New York: Oxford University
Press, 2007, hal. 18)
“Karena
Tuhan telah merancang alam semesta, maka semua fenomena alam akan mengikuti
satu master plan. Satu pikiran merancang alam semesta hampir pasti menggunakan
satu set prinsip dasar untuk mengatur seluruh fenomena terkait.” (Morris Kline) (Sumber: Walter
L. Bradley, Is There Scientific Evidence for the Existence of God?,
hal. 8)
“Tuhanlah
yang menempatkan planet-planet pada jarak berlainan dari matahari agar, sesuai
derajat densitas mereka, menikmati proporsi panas matahari yang lebih banyak
atau lebih sedikit. Yakin akan realitas maksud cerdas dalam tatanan kosmik,
Newton percaya bahwa, mendasari fenomena alam, terdapat entitas tak beraga,
hidup, cerdas, maha ada, yang, di ruang tak terhingga—sebagaimana dalam
inderanya—melihat fenomena alam secara mendalam. Tujuan utama ilmu alam,
jelasnya, adalah untuk menemukan Kausa Pertama dan kemudian memecahkan
pertanyaan-pertanyaan seperti berikut: Bagaimana gaya gravitasi bekerja? Apa
yang mencegah bintang-bintang jatuh menuju satu sama lain? Apa peran komet, dan
mengapa perilaku mereka begitu berbeda dari planet? Bagaimana kehidupan organik
begitu luar biasa fungsional? Apa sumber seluruh tatanan, perekonomian, dan
keindahan di dunia ini?” (Nancy K. Frankenberry) (Sumber: Nancy K. Frankenberry (Editor), The
Faith of Scientists in Their Own Words, New Jersey: Princeton
University Press, 2008, hal. 106)
“Alam
semesta tak hanya lebih ganjil dari yang kita duga, ia lebih ganjil dari yang
bisa kita duga.” (J.B.S. Haldane) (Sumber: Michio Kaku, “Dunia Paralel”
(diterjemahkan oleh Jookut dkk.), Bumi: SeSa Media, 2010, hal. 62)
“Lima
puluh tahun silam, alam semesta umumnya dianggap sebagai mesin… Ketika kita
sampai kepada perbedaan ukuran yang besar di setiap arah—baik menuju kosmos
secara keseluruhan, ataupun menuju lubuk dalam atom—interpretasi mekanis atas
Alam gagal. Kita sampai kepada entitas-entitas dan fenomena-fenomena yang sama
sekali tidak mekanis. Bagi saya, mereka lebih mengisyaratkan proses mental
ketimbang mekanis; alam semesta lebih mirip pikiran hebat daripada mesin
hebat.” (James Jeans) (Sumber: Michio Kaku, Dunia Paralel(diterjemahkan
oleh Jookut dkk.), Bumi: SeSa Media, 2010, hal. 351)
“Sudah
barang tentu doktrin tentang Tuhan personal yang ikut campur dalam peristiwa
alam takkan pernah bisa disangkal, dalam pengertian nyata, oleh sains, sebab
doktrin ini dapat senantiasa mencari perlindungan dalam domain-domain di mana
pengetahuan ilmiah belum mampu menginjakkan kakinya.” (Albert Einstein) (Sumber:
Nancy K. Frankenberry (Editor),The Faith of Scientists in Their Own Words,
New Jersey: Princeton University Press, 2008, hal. 163)
“Terkait
pertanyaan paling menantang, apakah proses-proses alam diatur oleh
prinsip-prinsip aktif bawaannya atau oleh Tuhan, Newton bersikap ambivalen.
Pada suatu tahap dia menyebut proses-proses alam yang diatur oleh
prinsip-prinsip aktif, yang dia sebut sebagai agen Tuhan; lewat bantuan mereka,
jumlah total gerak di alam semesta terkekalkan ketimbang terus menghilang. Pada
tahap lain dia menyatakan bahwa Tuhan, sebagai mekanik matematis dan juga
ulung, aktif secara langsung di kosmos—contohnya, membolehkan gaya gravitasi
(‘benang kendali Tuhan’) untuk memelihara orbit planet-planet maupun untuk
mendorong balik mereka manakala akumulasi interaksi mereka dengan benda langit
lain membawa mereka menuju ketidakstabilan.” (Nancy K. Frankenberry) (Sumber: Nancy K. Frankenberry
(Editor), The Faith of Scientists in Their Own Words, New
Jersey: Princeton University Press, 2008, hal. 106)
“Sedangkan,
Darwin terpecah dalam pertanyaan soal peran manusia di alam semesta. Walaupun
dia didiskreditkan sebagai orang yang melengserkan manusia dari pusat alam
semesta biologis, dia mengakui dalam otobiografinya mengenai ‘kesulitan ekstrim
atau kemustahilan untuk memahami alam semesta yang sangat besar dan menakjubkan
ini, termasuk manusia dengan kemampuannya untuk menatap jauh ke belakang dan
jauh ke masa depan, sebagai hasil dari untung-untungan buta atau keharusan.’
Dia mengutarakan kepada seorang teman, ‘Teologi saya sama sekali kacau-balau.’” (Sumber: Michio Kaku, Dunia
Paralel(diterjemahkan oleh Jookut dkk.), Bumi: SeSa Media, 2010, hal. 345)
“Tuhan
itu cerdik, tapi tidak jahat.” (Albert Einstein) (Sumber:
Dennis Overbye, Misteri Alam Semesta (diterjemahkan oleh
Jookut dkk.), Bumi: SeSa Media, 2010, hal. 82)
“Menggunakan
hukum Newton, seseorang bisa memprediksikan masa depan dengan presisi yang sama
seperti ketika memandang masa lalu… Jika suatu entitas bisa mengetahui posisi
dan kecepatan semua partikel di alam semesta, bagi intelek secerdas itu, tak
ada yang tak pasti; dan masa depan, juga masa lalu, berada di hadapan matanya.” (Pierre Simon de Laplace,
penasehat sains Napoleon) (Sumber: Michio Kaku, Dunia Paralel (diterjemahkan
oleh Jookut dkk.), Bumi: SeSa Media, 2010, hal. 165)
“Demikian
pula halnya, penghuni hyperspace yang memandang ke kita akan melihat kita
secara keseluruhan: depan, belakang, dan samping secara serempak.” (Michio Kaku) (Sumber: Michio
Kaku, “Dunia Paralel” (diterjemahkan oleh Jookut dkk.), Bumi: SeSa Media, 2010,
hal. 194)
“Dia
tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala
penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (QS al-An’aam [5]: 103)
“Saya
ingin tahu bagaimana Tuhan menciptakan dunia ini. Saya tidak tertarik pada
fenomena ini dan itu. Saya ingin mengetahui pikiran Tuhan. Sisanya hanyalah
rincian.” (Albert Einstein) (Sumber: Michio Kaku, Dunia Paralel (diterjemahkan
oleh Jookut dkk.), Bumi: SeSa Media, 2010, hal. 345)
“Apa
yang kita manusia cari dalam kisah penciptaan adalah cara merasakan dunia yang
akan membukakan pada kita hal-hal transenden, yang memberitahu kita dan pada
saat yang sama membentuk diri kita di dalamnya. Itulah yang orang-orang
inginkan. Inilah yang jiwa minta.”(Joseph Campbell) (Sumber: Michio Kaku, Dunia
Paralel (diterjemahkan oleh Jookut dkk.), Bumi: SeSa Media, 2010, hal.
62)
“Pengalaman
terindah yang bisa kita miliki adalah misteri. Ini merupakan emosi fundamental
yang menjadi tempat lahir seni dan sains sejati. Barangsiapa yang tidak
mengetahuinya dan tidak lagi ingin tahu, tidak lagi terheran, sama halnya
dengan orang mati, dan penglihatannya kabur.” (Albert Einstein) (Sumber:
Michio Kaku, Dunia Paralel (diterjemahkan oleh Jookut dkk.),
Bumi: SeSa Media, 2010, hal. 344)
“Pertanyaan
di atas semua pertanyaan manusia, persoalan yang berada di balik semuanya dan
yang lebih menarik dari semuanya, adalah mengenai penetapan kedudukan manusia
di Alam dan hubungannya dengan Kosmos.” (Thomas H. Huxley) (Sumber:
Michio Kaku, Dunia Paralel(diterjemahkan oleh Jookut dkk.), Bumi:
SeSa Media, 2010, hal. 344)
“Saya
bukan seorang atheis, dan saya pikir tak bisa menyebut diri sebagai pantheis.
Kita berada dalam kedudukan seorang anak kecil yang memasuki perpustakaan besar
berisi buku-buku dalam banyak bahasa. Sang anak tahu bahwa seseorang pasti
telah menulis buku-buku itu. Dia tak tahu bagaimana. Dia tak paham bahasa
tulisan buku-buku itu. Sang anak dengan suram menduga [adanya] tatanan
misterius dalam penyusunan buku-buku tersebut tapi tak tahu apa itu. Ini, bagi
saya, adalah sikap bahkan manusia paling cerdas kepada Tuhan. Kita melihat alam
semesta disusun secara ajaib dan mematuhi hukum tertentu tapi kita hanya
memahami hukum-hukum itu secara buram. Akal terbatas kita menyadari kekuatan misterius
yang menggerakkan rasi-rasi itu…” (Albert Einstein) (Sumber:
Nancy K. Frankenberry (Editor),The Faith of Scientists in Their Own
Words, New Jersey: Princeton University Press, 2008, hal. 153)
“Saya
tak tahu seperti apa saya bagi dunia, tapi bagi diri saya, rasanya saya hanya
seorang bocah yang sedang bermain di pantai, dan sekali-sekali menemukan
kerikil yang lebih halus atau kerang yang lebih indah daripada biasa, sementara
samudera kebenaran yang besar terhampar di hadapan saya, tak diketemukan.” (Isaac Newton) (Sumber: Nancy
K. Frankenberry (Editor), The Faith of Scientists in Their Own Words,
New Jersey: Princeton University Press, 2008, hal. 107)
“Saya
melihat sebuah pola, tapi imajinasi saya tak sanggup membayangkan pembuat pola
itu. Saya melihat sebuah jam, tapi saya tak sanggup membayangkan pembuatnya.
Akal manusia tak mampu membayangkan empat dimensi, lantas bagaimana bisa ia
membayangkan Tuhan, yang di hadapan-Nya seribuan tahun dan seribuan dimensi
adalah satu [kesatuan]?” (Albert Einstein) (Sumber: Nancy K. Frankenberry (Editor), The
Faith of Scientists in Their Own Words, New Jersey: Princeton University
Press, 2008, hal. 152)
“…Dan
Dia Maha Mengetahui segala isi hati.” (QS al-Hadid [57]: 6)
“…Dan
Dia bersama kamu di mana saja kamu berada…” (QS al-Hadid [57]: 4)
“Tidakkah
kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan
di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah
keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah
keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau
lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di manapun mereka berada…” (QS Al-Mujaadilah [58]: 7)
“Ya,
saya ingin mengatakan bahwa pasti ada maksud. Saya tidak tahu apa semua maksud
itu, tapi saya kira salah satunya adalah Tuhan menciptakan manusia agar
bersahabat dengan Tuhan. Maksud yang lebih besar mungkin adalah agar ciptaan
Tuhan mengagungkan Tuhan.”(Don Page) (Sumber: Michio Kaku, Dunia Paralel (diterjemahkan
oleh Jookut dkk.), Bumi: SeSa Media, 2010, hal. 356)
“Perasaan
saya adalah bahwa dalam agama terdapat hal-hal yang sangat serius, seperti
eksistensi Tuhan dan persaudaraan manusia, itu merupakan kebenaran serius yang
suatu hari akan kita belajar pahami mungkin dengan bahasa berbeda pada skala
berbeda… Jadi saya pikir terdapat kebenaran sejati di sana, dan dalam
pengertian tersebut keagungan alam semesta penuh dengan makna, dan kita
berhutang kehormatan dan keterkaguman kepada Penciptanya.” (Charles Misner) (Sumber:
Michio Kaku, Dunia Paralel (diterjemahkan oleh Jookut dkk.),
Bumi: SeSa Media, 2010, hal. 356)
“Sebagian
besar agama dunia meyakini suatu bentuk takdir, ide bahwa Tuhan tak hanya maha
kuasa (serba kuasa) dan maha ada (ada di mana-mana), tapi juga maha tahu (tahu
segalanya, bahkan masa depan). Dalam beberapa agama, ini artinya Tuhan
mengetahui apakah kita akan masuk surga atau neraka, bahkan sebelum kita lahir.
Pada esensinya, terdapat ‘buku takdir’ di suatu tempat di surga dengan semua
nama kita terdaftar, mencakup tanggal lahir kita, kegagalan dan keberhasilan
kita, kesenangan dan kesusahan kita, bahkan tanggal kematian kita, dan apakah
kita akan hidup di surga atau dalam kutukan abadi.” (Michio Kaku) (Sumber: Michio
Kaku, Dunia Paralel (diterjemahkan oleh Jookut dkk.), Bumi:
SeSa Media, 2010, hal. 166)
“Bagi
Newton dan Einstein, gagasan tentang kehendak bebas, bahwa kita adalah penguasa
takdir kita, merupakan sebuah ilusi. Gagasan masuk akal tentang realitas ini,
bahwa objek-objek konkret yang kita sentuh adalah nyata dan eksis dalam kondisi
definitif, oleh Einstein disebut ‘realitas objektif’.” (Michio Kaku) (Sumber: Michio
Kaku, Dunia Paralel(diterjemahkan oleh Jookut dkk.), Bumi: SeSa
Media, 2010, hal. 165)
“Saya
adalah seorang determinis, dipaksa bertindak seolah-olah terdapat kehendak
bebas, sebab jika saya ingin hidup dalam sebuah masyarakat beradab, saya harus
bertindak secara bertanggung jawab. Saya tahu secara filosofis seorang pembunuh
tidak bertanggung jawab atas kejahatannya, tapi saya tidak akan minum teh
bersamanya. Karir saya telah ditentukan oleh berbagai gaya yang saya tidak
punya kuasa atasnya, terutama kelenjar-kelenjar misterius itu di mana alam
mempersiapkan esensi kehidupan. Henry Ford boleh menyebutnya Suara Batin,
Socrates menyebutnya sebagai daemon: tiap manusia menjelaskan fakta dengan
caranya sendiri bahwa kehendak manusia tidaklah bebas… Segala sesuatu itu
ditetapkan…oleh gaya-gaya yang kita tak punya kuasa atasnya…pun bagi serangga dan
bintang. Manusia, sayuran, atau debu kosmik, kita semua berdansa menurut tempo
misterius, dilagukan di kejauhan oleh satu pemain tak nampak.” (Albert Einstein) (Sumber:
Michio Kaku, Dunia Paralel (diterjemahkan oleh Jookut dkk.),
Bumi: SeSa Media, 2010, hal. 165-166)
“…Sekiranya
kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati
terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh…” (QS Ali Imran [3]: 154)
“Dan
tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana
tetapnya kalung) pada lehernya…” (QS al-Israa [17]: 13)
Rasulullah
saw ditanya: “Wahai Rasulullah! Apakah sudah diketahui orang yang akan menjadi
penghuni surga dan orang yang akan menjadi penghuni neraka?” Rasulullah saw
menjawab: “Ya.” Kemudian beliau ditanya lagi: “Jadi untuk apa orang-orang harus
beramal?” Rasulullah saw menjawab: “Setiap orang akan dimudahkan untuk
melakukan apa yang telah menjadi takdirnya.” (Shahih Muslim No. 4789)
“Dan
kalau Allah menghendaki, niscaya mereka tidak memperkutukan(Nya)…” (QS al-An’aam [5]: 107)
“…Jikalau
Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya,…” (QS al-An’aam [5]: 112)
“Perlaluan
waktu yang dirasakan manusia, perasaan kita akan aliran dan perlaluan searah
dari masa lalu yang tetap menuju masa depan yang terbuka, tidak bisa
diakomodasi dalam teori relativitas. Dalam hal ini, teori Einstein menyerupai
teisme klasik Barat, di mana Tuhan Yang kekal melihat seluruh sejarah dunia
terhampar di hadapan-Nya, dan sedikit banyak, semua peristiwa terjadi serentak
di manifold ruang-waktu empat-dimensi tak bermasa.” (Nancy K. Frankenberry)
(Sumber: Nancy K. Frankenberry (Editor), The Faith of Scientists in
Their Own Words, New Jersey: Princeton University Press, 2008, hal. 148)
“Segala
sesuatu untuk seluruh waktu masa depan telah ditetapkan, segalanya implisit
dalam instanton.” (Neil Turok) (Sumber: Dennis Overbye, Misteri Alam Semesta (diterjemahkan
oleh Jookut dkk.), Bumi: SeSa Media, 2010, hal. 42)
“Waktu
adalah cara Tuhan mencegah segalanya terjadi serentak.” (Grafiti anonim Texas) (Sumber:
John D. Barrow, New Theories of Everything, New York: Oxford
University Press, 2007, hal. 66)
“Kita
tidak mungkin mengirim seorang pelancong waktu kembali ke Taman Eden untuk
meminta Hawa agar tidak memungut apel dari pohonnya.” (Igor Novikov) (Sumber: Michio
Kaku, Dunia Paralel (diterjemahkan oleh Jookut dkk.), Bumi:
SeSa Media, 2010, hal. 155)
“Seribu
tahun perselisihan teologis telah memupuk kebiasaan berpikir analitis yang bisa
pula diterapkan pada analisis fenomena alam. Di sisi lain, hubungan historis
erat antara teologi dan sains telah menimbulkan konflik antara sains dan agama
Kristen yang tidak terjadi antara sains dan agama-agama lain. Lebih sulit bagi
seorang ilmuwan modern untuk menjadi pemeluk Kristen serius, seperti John
Polkinghorne, daripada menjadi Muslim serius, seperti fisikawan peraih Hadiah
Nobel, Abdus Salam.” (Freeman Dyson) (Sumber: Nancy K. Frankenberry (Editor), The
Faith of Scientists in Their Own Words, New Jersey: Princeton University
Press, 2008, hal. 386)
“Pada
suatu hari di sekolah Minggu, kami mempelajari Genesis. Kisah mengenai Tuhan
yang berkata keras dari surga, ‘Jadilah Cahaya!’, terdengar jauh lebih menarik
dibanding bermeditasi dalam sunyi tentang Nirwana. Dengan polos saya bertanya
kepada guru sekolah Minggu saya, ‘Apakah Tuhan memiliki ibu?’ Biasanya dia
memberikan jawaban yang tajam dan pelajaran moral yang dalam. Namun kali ini
dia tercengang. ‘Tidak,’ jawabnya ragu-ragu, ‘mungkin Tuhan tidak memiliki
ibu.’ ‘Lalu dari mana Tuhan berasal?’ saya bertanya. Dia mengomel bahwa dirinya
harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan pendeta terkait pertanyaan itu.” (Michio Kaku) (Sumber: Michio
Kaku, Dunia Paralel (diterjemahkan oleh Jookut dkk.), Bumi:
SeSa Media, 2010, hal. 19)
“Allah
Ta’ala berfirman: ‘Sesungguhnya umatmu tak henti-hentinya bertanya: Kenapa
begini, kenapa begini? Sampai-sampai mereka mengatakan: Allah menciptakan
makhluk, lalu siapakah yang menciptakan Allah.’” (HR Muslim)
“Tak
henti-hentinya manusia bertanya-tanya, sampai-sampai dikatakan: ‘Allah
menciptakan makhluk, lalu siapa yang menciptakan Allah?’ Barang siapa yang
merasakan keraguan dalam hatinya, maka hendaklah ia berkata: ‘Aku beriman
kepada Allah.’” (HR Muslim)
“…Newton
mengarang sebuah esai analisis linguistik teologi, dalam upaya menemukan
penyimpangan yang dimasukkan ke dalam agama Kristen. Newton bukan seorang
penganut Trinitas ortodoks. Dia percaya pandangannya tersembunyi di dalam
Injil, tapi [dia yakin] bahwa dokumen wahyu tersebut telah diselewengkan oleh
penulis-penulis terkemudian yang memasukkan konsep baru dan bahkan kalimat
baru. Jadi Newton, melalui analisis linguistik, mencoba menemukan kebenaran.” (I. Bernard Cohen) (Sumber:
Nancy K. Frankenberry (Editor), The Faith of Scientists in Their Own
Words, New Jersey: Princeton University Press, 2008, hal. 149)
“Sistem
Matahari, Planet, dan Komet terindah ini hanya bisa berawal dari nasehat dan
kendali Entitas cerdas dan berkuasa. Dan jika Bintang diam merupakan pusat
sistem serupa lain, ia, yang dibentuk oleh nasehat demikian pula, harus
tunduk kepada kendali Yang Esa; terutama karena cahaya Bintang diam bersifat
sama dengan cahaya Matahari, dan dari setiap sistem, cahaya melintas ke semua
sistem lain. Kalau tidak, sistem-sistem Bintang diam pasti, akibat
gravitasinya, jatuh ke satu sama lain, Dia telah menempatkan
Sistem-sistem itu pada jarak besar sekali dari satu sama lain. Entitas ini
mengatur segalanya, bukan sebagai jiwa dunia, tapi sebagai Raja atas segalanya:
Dan, atas sebab kekuasaan-Nya, Dia tak bisa dipanggil Tuhan Bapak Pantokrator,
atau Penguasa Universal. Sebab Tuhan adalah kata relatif, dan mempunyai
kaitan dengan hamba; dan Ketuhanan adalah kekuasaan Tuhan, bukan atas Diri-Nya
Sendiri, sebagaimana menurut orang-orang yang membayangkan Tuhan yang tinggi
sebagai jiwa dunia, tapi atas hamba. Tuhan tertinggi adalah Entitas kekal,
maha, mutlak sempurna; tapi entitas yang tak memiliki kekuasaan, betapapun
sempurnanya ia, tidak bisa disebut sebagai Tuhan Bapak; sebab kita [biasa]
mengatakan, Tuhan saya, Tuhan Anda, Tuhannya Israel, Tuhan para Dewa, dan Raja
para Raja; tapi kita tak [biasa] mengatakan Entitas Kekal saya, Entitas Kekal
Anda, Entitas Kekalnya Israel, Entitas Kekal [di antara] para Dewa; kita tak
[biasa] mengatakan, Entitas Maha saya, atau Entitas Sempurna saya: semua itu
adalah gelar-gelar yang tak ada kaitannya dengan hamba. Kata Tuhan biasanya
berarti Raja; tapi tidak semua raja adalah Tuhan. Kekuasaan entitas
spiritual-lah yang merupakan Tuhan; kekuasaan sejati, tertinggi, atau imajiner
menghasilkan Tuhan sejati, Tuhan Tertinggi, atau Tuhan imajiner. Dan dari
kekuasaan sejati-Nya teriring bahwa Tuhan sejati adalah Entitas Hidup,
Cerdas, dan Berkuasa; dan, dari kesempurnaan lain-Nya, bahwa Dia adalah
Tertinggi dan Tersempurna. Dia Kekal dan Tak Terbatasi [Ruang], Maha Kuasa dan
Maha Tahu; yakni, masa-Nya membentang dari Kekekalan menuju Kekekalan;
kehadiran-Nya membentang dari [Ruang] Tak Terbatas menuju [Ruang] Tak Terbatas;
Dia mengatur segalanya, dan tahu segalanya yang sedang atau dapat dilakukan. Dia
bukan Kekekalan dan Ketakterbatasan [Ruang], melainkan Kekal dan Tak Terbatasi
[Ruang]; Dia bukan Masa dan Ruang, tapi Dia abadi dan hadir. Dia abadi
selamanya, dan hadir di mana-mana; dan, dengan eksis selalu dan di mana-mana,
Dia merupakan Masa dan Ruang. Karena setiap partikel Ruang ada selalu, dan
setiap momen Masa tak terbagi ada di mana-mana, tentu saja Pencipta dan Raja
segalanya tidak mungkin pernah tak ada dan [tidak mungkin] pernah tak ada di
mana-mana. Setiap jiwa yang memiliki persepsi, meski dalam zaman berbeda dan
dalam organ indera dan gerak berbeda, tetap merupakan sosok yang sama yang tak
terbagi. Ada bagian-bagian berturut-turut tertentu dalam masa, bagian-bagian
koeksis dalam ruang, tapi tak ada pada sosok manusia, atau prinsip berpikirnya;
dan [bagian-bagian] itu kurang-lebih bisa ditemukan pada dzat berpikir Tuhan.
Setiap manusia, sepanjang ia adalah sesuatu yang punya persepsi, merupakan
orang yang satu dan yang sama semasa seluruh hidupnya, dalam semua dan setiap
organ inderanya. Tuhan adalah Tuhan yang [tetap] sama, [ada] selalu dan di
mana-mana. Dia maha hadir, bukan hanya secara virtual [penglihatan], tapi juga
secara substansial [esensi]; sebab kevirtualan tidak dapat hidup tanpa
substansi. Di dalam-Nya segalanya terkandung dan bergerak; tapi tidak saling
mempengaruhi: Tuhan tidak menderita apapun akibat gerak benda-benda;
benda-benda tidak menemukan hambatan apapun dari kemahahadiran Tuhan.
Semuanya memperkenankan Tuhan tertinggi wajib eksis; dan dengan kewajiban yang
sama pula Dia eksis selalu dan di mana-mana. Darimana Dia juga adalah maha
serupa, maha melihat, maha mendengar, maha berwenang, maha kuasa untuk
mengindera, memahami, dan bertindak; tapi bukan dalam cara manusia sama sekali,
bukan dalam cara jasmaniyah sama sekali, [melainkan] dalam cara yang sama
sekali tidak kita ketahui. Sebagaimana orang buta tak bisa mengetahui warna,
begitupun kita tak mengetahui cara Tuhan maha bijak mengindera dan memahami
segalanya. Dia sama sekali tidak berbadan dan bukan sosok badaniyah, dan
karenanya tak bisa dilihat, didengar, disentuh, ataupun disembah melalui
perlambangan benda/makhluk jasmaniyah. Kita mengetahui atribut-atribut-Nya,
tapi dzat sejati-Nya tak kita ketahui. Pada badan, kita hanya melihat sosok dan
warna, kita hanya mendengar suara, kita hanya menyentuh permukaan luar, kita
hanya mencium bau, dan hanya merasakan rasa; tapi substansi dalamnya tidak
diketahui, baik oleh indera kita, ataupun oleh tindakan refleks pikiran kita;
dengan demikian kurang-lebih kita mengetahui dzat Tuhan. Kita mengetahui-Nya
hanya melalui perancangan makhluk oleh-Nya yang maha bijak dan unggul, dan
[melalui] kausa-kausa akhir; kita mengagumi-Nya atas kesempurnaan-Nya; tapi
kita memuja dan menyembah-Nya lantaran kekuasaan-Nya. Sebab kita menyembah-Nya
sebagai hamba-Nya; dan Tuhan tanpa kekuasaan, pemeliharaan, dan kausa akhir,
tak lain hanyalah Nasib dan Sifat. Kebetulan metafisik buta, yang tentu saja
sama selalu dan di mana-mana, tidak dapat menghasilkan keanekaragaman
benda/makhluk. Semua keanekaragaman benda/makhluk di alam yang kita temukan,
yang disesuaikan dengan zaman dan tempat berbeda-beda, hanya bisa timbul tak
lain dari ide dan kehendak Entitas yang wajib eksis. Tapi, melalui kiasan,
Tuhan dikatakan melihat, berbicara, tertawa, mencintai, membenci, menginginkan,
memberi, menerima, gembira, marah, memerangi, menyusun, bekerja, membangun.
Sebab semua gagasan kita tentang Tuhan diambil dari cara manusia, yang melalui
perbandingan tertentu, meski tak sepenuhnya, memiliki suatu keserupaan, bagaimanapun.
Sejauh itulah menyangkut Tuhan; mempercakapkan Dia berdasarkan wujud
benda/makhluk, tentu saja termasuk ke dalam Ilmu Alam.” (Isaac Newton) (Sumber: Nancy
K. Frankenberry (Editor), The Faith of Scientists in Their Own Words,
New Jersey: Princeton University Press, 2008, hal. 114-116)
“Pilihan
terakhir, Queries about the word Homoousios, adalah karya tulis retoris yang
mengungkap dua keyakinan Newton yang paling berapi-api: bahwa kata Yunani
untuk “same substance” (“unsur yang sama”) merupakan inovasi metafisik yang
ditambahkan ke dalam Injil, dan bahwa orang-orang yang mempertahankan kata
tersebut adalah penyokong supremasi Paus dalam perbudakan Roma. Dalam General
Scholium, argumentasi anti-trinitasnya Newton, meski terang sekali, direndam.
Dalam naskah-naskah teologisnya, dia dengan jelas menempatkan Yesus Kristus
sebagai seorang manusia yang memperantarai Tuhan tapi tidak boleh disembah
menggantikan Bapak.” (Nancy K. Frankenberry) (Sumber: Nancy K. Frankenberry (Editor), The
Faith of Scientists in Their Own Words, New Jersey: Princeton University
Press, 2008, hal. 107)
“Sesungguhnya
telah kafirlah orang-orang yang berkata: ‘Sesungguhnya Allah ialah Al Masih
putera Maryam’, padahal Al Masih (sendiri) berkata: ‘Hai Bani Israil, sembahlah
Allah Tuhanku dan Tuhanmu’. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu
dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya
ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” (QS al-Maa’idah [5]: 72)
“Sesungguhnya
telah kafirlah orang-orang yang berkata: ‘Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih
putera Maryam.’ Katakanlah: ‘Maka siapakah (gerangan) yang dapat
menghalang-halangi kehendak Allah, jika Dia hendak membinasakan Al Masih putera
Maryam itu beserta ibunya dan seluruh orang-orang yang berada di bumi
kesemuanya?’ Kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di
antara keduanya; Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa
atas segala sesuatu.” (QS al-Maa’idah [5]: 17)
“Salah
seorang peneliti paleontologi mengatakan, ‘Manusia telah memulai penggalian
peninggalan untuk mencari emas dan menemukan perhiasan dan mutiara. Kemudian
manusia mengetahui sesuatu yang lebih indah dari barang-barang tambang itu.
Mereka mencarinya dan beramai-ramai mengeluarkan dan memperolehnya. Itu adalah
sejarah suci, atau sejarah bernilai tinggi yang menjulang ke langit. Ia
memiliki simpanan di rongga bumi.’” (Al-’Aqqad) (Sumber: Muhammad
Isa Dawud , Penghuni Bumi Sebelum Kita (diterjemahkan oleh
Irwan Kurniawan), Bandung: Pustaka Hidayah, Cet. XIV, Januari 2009, hal. 48)
“Menurut
pendapat saya, sejarah peradaban tertua manusia adalah kemerosotan pesat dari
monoteisme menuju politeisme ekstrim dan keyakinan pada roh jahat. Ini sejatinya
adalah sejarah kejatuhan manusia.” (Stephen Langdon) (Sumber: Dr.
Arthur C. Custance, From Monotheism to Polytheism, www.custance.org)
“Sejarah
agama Sumeria, yang merupakan pengaruh budaya paling kuat di dunia kuno, bisa
ditelusuri lewat prasasti fotografis hingga konsep keagamaan terawal manusia.
Bukti-bukti tak salah lagi menunjuk pada sebuah monoteisme awal, prasasti dan
peninggalan sastra bangsa-bangsa Semit tertua juga mengindikasikan monoteisme
primitif, dan asal-usul patung agama Hebrew dan agama-agama Semit lainnya kini
sama sekali tak dapat dipercaya.” (Stephen Langdon) (Sumber: Dr.
Arthur C. Custance, From Monotheism to Polytheism,www.custance.org)
“Jika
kebudayaan-kebudayaan primitif berkelompok atas dasar tingkat kebudayaan mereka
dan kemudian kelompok-kelompok ini ditempatkan dalam urutan menaik, ditemukan
bahwa kelompok terendah memiliki konsep Tuhan paling murni dan bahwa begitu
sebuah kelompok berkembang dari pemburu menjadi pengumpul dan penyimpan
makanan, menjadi penanam makanan dalam bentuk nomaden penggembala yang
memelihara sekawanan binatang, menjadi penanam makanan dalam hal penggunaan
tanah yang didiami, dan naik derajat menjadi komunitas semi-urban, kita
pertama-tama menemukan keyakinan sederhana kepada Entitas Tertinggi yang tak
mempunyai isteri ataupun keluarga. Di bawah-Nya dan diciptakan oleh-Nya adalah
pasangan pertama yang darinya suku diturunkan… kita menemukan bentuk keyakinan
ini di kalangan Pigmi Afrika Tengah, penghuni Australia Tenggara, penghuni
utara California tengah, Algonkin primitif, dan, hingga taraf tertentu, Koryaka
dan Ainu.” (Wilhelm Schmidt) (Sumber: Dr. Arthur C. Custance, From
Monotheism to Polytheism, www.custance.org)
“Orang-orang
Yahudi berkata: ‘Uzair itu putera Allah’ dan orang-orang Nasrani berkata: ‘Al
Masih itu putera Allah’. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka,
mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah-lah
mereka, bagaimana mereka sampai berpaling? Mereka menjadikan orang-orang
alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka
mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah
Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada tuhan selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang
mereka persekutukan.” (QS at-Taubah [9]: 30-31)
“Mereka
(orang-orang kafir) berkata: ‘Allah mempunyai anak’. Maha Suci Allah, bahkan
apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah; semua tunduk
kepada-Nya.” (QS al-Baqarah [2]: 116)
“Al
Masih putera Maryam itu hanyalah seorang Rasul yang sesungguhnya telah berlalu
sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya
biasa memakan makanan. Perhatikan bagaimana Kami menjelaskan kepada mereka
(ahli kitab) tanda-tanda kekuasaan (Kami), kemudian perhatikanlah bagaimana
mereka berpaling (dari memperhatikan ayat-ayat Kami itu).” (QS al-Maa’idah [5]: 75)
“Allah
sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain)
beserta-Nya, kalau ada tuhan beserta-Nya, masing-masing tuhan itu akan membawa
makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan
sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu,” (QS al-Mu’minuun [23]: 91)
“Tidak
layak bagi Allah mempunyai anak, Maha Suci Dia. Apabila Dia telah menetapkan
sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya: ‘Jadilah’, maka jadilah ia.” (QS Maryam [19]: 35)
“Dia
Pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai
isteri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu.” (QS al-An’aam [6]: 101)
“…berdasarkan
semua hal yang telah ketahuan selama seratus tahun terakhir dari studi dokumen
kuno, yakni, dari riwayat tertulis peradaban kuno, gambaran sejarah spiritual
manusia, sepanjang menyangkut rumusan keyakinannya, memperkenankan kita cukup
menyimpulkan bahwa manusia memulai dengan keyakinan murni terhadap Tuhan
keadilan dan kepengasihan, yang maha ada, maha kuasa, dan maha tahu, yang bisa disembah
tanpa memerlukan gambar-gambar atau perlengkapan lain semacam itu.” (Arthur C. Custance) (Sumber:
Dr. Arthur C. Custance, From Monotheism to Polytheism, www.custance.org)
“Segera
begitu kita sampai pada tatanan kebudayaan primitif berikutnya, kondisi berubah
sama sekali. Bukan hanya pasangan pertama atau ayah pertama yang mendapat
penyembahan, tapi juga sejumlah besar atau kecil leluhur mati
lainnya…penyembahan leluhur dan orang mati lainnya menggantikan penyembahan
Entitas Tertinggi sepenuhnya, dan antropomorfisasi dewa-dewa yang diakibatkan
oleh penyamaan ini melahirkan pembuatan berbagai macam ‘gambar’. Esensi murni
Entitas Tertinggi direduksi menjadi karikatur kasar orang mati.”(Arhur C. Custance) (Sumber: Dr. Arthur C.
Custance, From Monotheism to Polytheism,www.custance.org)
“Di
Gurun Kalahari, di hutan Ituri, dan di banyak lokasi lain yang tak terhitung,
antropolog-antropolog muda mulai mengerjakan tanya-jawab yang lebih dalam.
Mereka bertanya kepada para penganut animisme: ‘Ngomong-ngomong, siapa yang
menciptakan dunia?’ dan terkejut mendengar mereka menjawab, seringkali dengan
senyum bahagia, dengan menyebut nama Entitas tunggal yang hidup di langit. ‘Apa
Dia baik atau jahat?’ merupakan pertanyaan lumrah kedua. ‘Tentu saja baik’
adalah jawaban tetap. ‘Tunjukkan kepada saya berhala yang kalian gunakan untuk
melambangkan-Nya,’ periset meminta. ‘Berhala apa? Tak tahukah Anda bahwa Dia
jangan pernah dilambangkan dengan berhala apapun?’” (Don Richardson) (Sumber:
Zenith Harris Merrill, Monotheism – The Original Religion of Man, www.bloomington.in.us)
“Suku
Zulu tak punya berhala, melainkan mengakui Entitas Tertinggi yang dikenal
sebagai Great-Great One ataupun sebagai First Outcomer. Terlepas dari reputasi
mereka sebagai suku tanpa konsep Tuhan, suku Zulu berulangkali menyebut-Nya,
dan sungguh atas kemauan sendiri, sebagai Pencipta segala sesuatu dan seluruh
manusia.” (Pendeta Titcombe) (Sumber: Dr. Arthur C. Custance, From
Monotheism to Polytheism, www.custance.org)
“Dalam
Book of History ataupun Odes tak ada penyebutan berhala yang bisa ditelusuri.
Tak ada perlambangan yang pernah dibuat di China untuk apapun di kayangan atas
atau di bumi bawah untuk melambangkan Tuhan. Dan Dia boleh disembah di manapun
kapanpun, sebab Dia hadir di mana-mana.” (Williams) (Sumber: Dr. Arthur
C. Custance, From Monotheism to Polytheism, www.custance.org)
“Saya
sadar bahwa pengalaman saya di hutan, pemahaman saya soal simpanse, telah
memberi saya perspektif baru. Secara pribadi saya yakin sama sekali bahwa ada
sebuah kekuatan spiritual besar yang kita sebut Tuhan, Allah, atau Brahma,
walaupun saya tahu, juga secara yakin, bahwa akal terbatas saya takkan pernah
bisa memahami wujud atau sifatnya… Saya mengimani kekuatan spiritual yang,
sebagai seorang Kristen, saya sebut Tuhan. Tapi begitu saya tumbuh dewasa dan
tahu tentang berbagai agama, saya jadi percaya bahwa, bagaimanapun juga, hanya
ada Satu Tuhan, dengan nama berbeda-beda: Allah, Tao, Pencipta, dan sebagainya.
Tuhan, menurut saya, adalah Roh Agung yang di dalam-Nya ‘kita hidup dan
bergerak dan merasakan eksistensi kita’.” (Jane Goodall) (Sumber: Nancy K.
Frankenberry (Editor), The Faith of Scientists in Their Own Words,
New Jersey: Princeton University Press, 2008, hal. 302-303 & 307)
“Monoteisme
dikenal di masa yang sangat awal. The Egyptian Book of the Dead menunjukkan
bahwa bangsa Mesir mulanya meyakini satu Tuhan agung dan bukan banyak tuhan.
Seiring berjalannya waktu, masing-masing atribut Tuhan sejati itu
dipersonifikasikan sebagai dewa baru dan tersendiri – dan begitulah politeisme
berkembang.” (Zenith Harris Merrill) (Sumber: Zenith Harris Merrill, Monotheism
– The Original Religion of Man, www.bloomington.in.us)
“Seandainya
konsepsi satu tuhan hanyalah evolusi dari penyembahan roh, semestinya kita
menemukan penyembahan banyak tuhan yang mendahului penyembahan satu Tuhan… Apa
yang kita temukan adalah sebaliknya, monoteisme merupakan taraf pertama yang
tertelusuri dalam teologi… Ke manapun kita menelusuri politeisme sampai taraf
terawalnya, kita menemukan bahwa itu dihasilkan dari kombinasi monoteisme.” (Sir Flinders Petrie) (Sumber:
Dr. Arthur C. Custance, From Monotheism to Polytheism, www.custance.org)
“…ide
bangsa Mesir kuno mengenai Tuhan adalah ide mengenai karakter yang amat mulia,
dan jelas bahwa mereka membedakan secara tajam antara Tuhan dan ‘dewa-dewa’…
Jadi di sini kita punya Satu Tuhan yang self-created (terwujud dengan
sendirinya), self-existent (eksis dengan sendirinya), dan Maha Kuasa, yang
menciptakan alam semesta.” (Sir Wallis Budge) (Sumber: Zenith Harris Merrill, Monotheism
– The Original Religion of Man,www.bloomington.in.us)
“M. de
Rouge tak diragukan lagi tepat dalam penegasannya bahwa di beberapa tempat
(pusat) pemujaan, satu dewa yang sama muncul berulang kali dengan nama dan
simbol berbeda-beda…” (Renouf) (Sumber: Dr. Arthur C. Custance, From Monotheism
to Polytheism,www.custance.org)
“Faktanya
bagi saya adalah bahwa agama Mesir tak pernah sama sekali kehilangan unsur
monoteistis yang pernah dimilikinya.” (Sir Wallis Budge) (Sumber:
Zenith Harris Merrill,Monotheism – The Original Religion of Man, www.bloomington.in.us)
“Sebagai
hasil dari studi mereka atas teks-teks Mesir, banyak Egyptolog terdahulu,
semisal Champollion-Figeac, de Rouge, Pierret, dan Brugsch tiba pada kesimpulan
bahwa penghuni di Lembah Nil, sejak masa terawal, meyakini eksistensi satu
Tuhan, yang tak bernama, tak dapat dicerna, dan kekal.” (Sir Wallis Budge) (Sumber:
Zenith Harris Merrill, Monotheism – The Original Religion of Man, www.bloomington.in.us)
“…sejak,
atau sebelum, permulaan periode sejarah, agama monoteistis murni Mesir melewati
fase Sabeisme.” (M. de Rouge) (Sumber: Dr. Arthur C. Custance, From
Monotheism to Polytheism, www.custance.org)
“…lembaran
yang dilaporkan oleh T.G. Pinches, meski terlestarikan secara tak lengkap,
memberitahu kita bahwa semua…dewa tertinggi di kuil Babilonia ditunjuk sebagai
satu dengan dan satu dalam dewa Marduk.” (Arthur C. Custance) (Sumber:
Dr. Arthur C. Custance, From Monotheism to Polytheism, www.custance.org)
“Ketika
literatur tulisan paku mulai pertama kali menyingkap pesannya, ahli tulisan
paku dan hieroglif Mesir segera mendapati diri mereka berhadapan dengan
dahsyatnya jumlah dewa dan dewi, dan setan dan kekuatan spiritual lain yang
lebih rendah, yang tampaknya selalu saling berperang dan kebanyakan amat
destruktif. Namun, begitu lembaran-lembaran yang lebih purba digali dan
diterangkan, dan ketrampilan dalam menguraikannya meningkat, gambaran pertama
politeisme kasar mulai diganti oleh sesuatu yang lebih hampir mendekati hirarki
makhluk-makhluk halus yang tersusun ke dalam semacam pengadilan dengan satu
Entitas Tertinggi di atas mereka semua.” (Arthur C. Custance) (Sumber:
Dr. Arthur C. Custance, From Monotheism to Polytheism, www.custance.org)
“Dan
mereka berkata: ‘Tuhan Yang Maha Pemurah telah mengambil (mempunyai) anak’,
Maha Suci Allah. Sebenarnya (malaikat-malaikat itu) adalah hamba-hamba yang
dimuliakan, mereka itu tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka
mengerjakan perintah-perintah-Nya. Allah mengetahui segala sesuatu yang di
hadapan mereka (malaikat) dan yang di belakang mereka, dan mereka tiada memberi
syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu
berhati-hati karena takut kepada-Nya. Dan barangsiapa di antara mereka,
mengatakan: ‘Sesungguhnya aku adalah tuhan selain daripada Allah’, maka orang
itu Kami beri balasan dengan Jahannam, demikian Kami memberikan pembalasan
kepada orang-orang zalim.” (QS al-Anbiyaa’ [21]: 26-29)
“Selain
hasil yang lebih nyata, penggalian kami telah membuktikan sebuah fakta baru,
yang akan harus dipertimbangkan oleh peneliti agama-agama Babilonia. Kami telah
memperoleh, untuk pertama kalinya sepanjang pengetahuan kami, material keagamaan
yang utuh dalam hal suasana sosialnya. Kami memiliki banyak sekali bukti
koheren, diperoleh dalam jumlah yang sama dari sebuah kuil dan dari rumah-rumah
yang dihuni oleh orang-orang yang melakukan penyembahan di kuil tersebut. Jadi
kami sanggup menarik kesimpulan, yang tak dimungkinkan oleh temuan itu sendiri.
Contoh, kami menemukan bahwa gambar-gambar pada sumbat silinder (cylinder
seal), yang biasanya terkait dengan beragam dewa, semuanya bisa dicocokkan
menjadi gambaran konsisten di mana satu tuhan yang disembah di kuil ini
merupakan figur sentral. Tampaknya pada periode awal ini berbagai aspek-Nya
tidak dianggap sebagai dewa-dewa terpisah di kuil Sumeria-Akkadia.” (Henry Frankfor) (Sumber: Dr.
Arthur C. Custance, From Monotheism to Polytheism, www.custance.org)
“Terdapat
monoteisme yang mendahului politeisme Weda; dan bahkan dalam pemanggilan tak
terkira banyaknya dewa, ingatan tentang Tuhan, yang maha esa dan maha kuasa,
menerobos kabut fraseologi musyrik layaknya langit biru yang tersembunyi oleh
awan yang melintas.”(Max
Muller) (Sumber: Dr. Arthur C. Custance, From Monotheism to Polytheism,www.custance.org)
“Mereka
memanggil dia Indra, Mythra, Varunna, Agni—Yang Maha Esa, nama Yang Maha Bijak
dengan istilah berbeda-beda.” (Edward McCrady) (Sumber: Dr.
Arthur C. Custance, From Monotheism to Polytheism, www.custance.org)
“Kamu
tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu
dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun
tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah
memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus,
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS Yusuf [12]: 40)
“Sesungguhnya
orang-orang yang tiada beriman kepada kehidupan akhirat, mereka benar-benar
menamakan malaikat itu dengan nama perempuan.” (QS an-Najm [53]: 27)
“Maka
apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap al-Lata dan al-Uzza, dan
Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)?
Apakah (patut) untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah (anak) perempuan?
Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil. Itu tidak lain
hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengadakannya; Allah tidak
menurunkan suatu keteranganpun untuk (menyembah)nya. Mereka tidak lain hanyalah
mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka dan
sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka.” (QS an-Najm [53]:19-23)
“Kemudian
mereka mengambil tuhan-tuhan selain daripada-Nya (untuk disembah), yang
tuhan-tuhan itu tidak menciptakan apapun, bahkan mereka sendiri diciptakan dan
tidak kuasa untuk (menolak) sesuatu kemudharatan dari dirinya dan tidak (pula
untuk mengambil) sesuatu kemanfaatanpun dan (juga) tidak kuasa mematikan,
menghidupkan dan tidak (pula) membangkitkan.” (QS al-Fuurqan [25]: 3)
“Maka
mengapa yang mereka sembah selain Allah sebagai Tuhan untuk mendekatkan diri
(kepada Allah) tidak dapat menolong mereka. Bahkan tuhan-tuhan itu telah lenyap
dari mereka? Itulah akibat kebohongan mereka dan apa yang dahulu mereka
ada-adakan.” (QS al-Ahqaaf [46]: 28)
“Di
Mesir, bahkan Osiris, Isis, dan Horus, yang begitu familiar sebagai tiga
serangkai, mulanya didapati sebagai unit terpisah dalam kedudukan berlainan:
Isis sebagai dewi perawan, dan Horus sebagai Tuhan yang eksis dengan
sendirinya. Tiap-tiap kota kelihatannya memiliki satu dewa, dan kemudian
[dewa-dewa] lainnya ditambahkan. Demikian halnya, kota-kota Babilonia
masing-masing memiliki dewa tertinggi, dan kombinasi ini serta transformasi
mereka menjadi kelompok-kelompok saat kampung halaman mereka menyatu secara
politik menunjukkan bagaimana pada dasarnya mereka mulanya adalah dewa-dewa
tersendiri.” (Sir Flinders Petrie) (Sumber: Dr. Arthur C. Custance, From
Monotheism to Polytheism, www.custance.org)
“Sesungguhnya
kafirlah orang-orang yang mengatakan: ‘Bahwasanya Allah salah seorang dari yang
tiga’, padahal sekali-kali tidak ada tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika
mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang
kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.” (QS al-Maa’idah [5]: 73)
“Wahai
Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu
mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, Isa putera
Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang
disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka
berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan:
‘(Tuhan itu) tiga’, berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu.
Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak,
segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah menjadi
Pemelihara.” (QS An-Nisaa [4]:171)
“Katakanlah:
‘Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang
tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali
Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula)
sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah.’ Jika
mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: ‘Saksikanlah, bahwa kami adalah
orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).’” (QS Ali ‘Imran [3]: 64)
“Pada
periode sejarah China ini, Tuhan Penguasa Tertinggi adalah maha esa dan tak
dapat dibagi, tidak berubah, tak ada yang setara dengan-Nya, berkuasa mutlak
dan sendirian atas segala sesuatu di kayangan atas dan di bumi bawah. Dia
berbuat apa yang Dia kehendaki dan tak ada kekuatan yang mampu menghalangi-Nya,
dan kehendak-Nya selalu benar…” (Williams) (Sumber: Dr. Arthur
C. Custance, From Monotheism to Polytheism, www.custance.org)
“Salah
satu dewa tertua dan tentu saja teragung adalah Dewa Langit Ti’en. Pada
masa-masa amat awal, Ti’en dianggap sebagai raja agung di langit, lebih mulia
daripada raja bumi manapun, lebih brilian, dan lebih menakutkan. Kemudian,
banyak orang memandang dia sebagai dinamo impersonal, sumber energi yang
menggerakkan dunia.” (Edward H. Schafer) (Sumber: Dr. Arthur C. Custance, From
Monotheism to Polytheism, www.custance.org)
“Apakah
mereka mengambil tuhan-tuhan dari bumi, yang dapat menghidupkan (orang-orang
mati)? Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah
keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai ‘Arsy
daripada apa yang mereka sifatkan.” (QS al-Anbiyaa’ [21]: 21-22)
“Kembali
ke bangsa paling primitif, Pigmi Afrika atau penghuni Australia tengah atau
Indian California tengah—semuanya memiliki satu Dewa Langit Tertinggi yang
kepada-Nya mereka memberi persembahan darah mereka dan buah pertama mereka yang
diperoleh dalam perburuan atau dari tanah. Semua bangsa ini juga memiliki
doa-doa singkat dengan upacara di sana sini kepada Tuhan Pencipta Tertinggi
yang sebelum-Nya tak ada satupun yang eksis.”(Wilhelm Schmidt) (Sumber: Dr. Arthur C.
Custance, From Monotheism to Polytheism,www.custance.org)
“Semua
bangsa primitif ini memiliki pengetahuan tentang Dewa Tertinggi, …Dewa
Tertinggi yang mereka akui pada esensinya adalah sosok sama beratribut sama di
mana-mana.” (Samuel Zwemer) (Sumber: Dr. Arthur C. Custance, From
Monotheism to Polytheism,www.custance.org)
“Dr.
Wilhelm Schmidt, seorang Austria, pada 1920-an mulai menghimpun setiap ‘nama
alias Yang Maha Kuasa’ yang ditemukan oleh penjelajah di seluruh dunia. Schmidt
menghabiskan enam volume yang mengagumkan berjumlah total 4.500 halaman untuk
merinci semuanya! Minimal seribu contoh lebih telah ketahuan sejak saat itu.
Kira-kira 90% atau lebih agama-agama rakyat di planet ini memuat pengakuan
jelas akan eksistensi satu Tuhan Tertinggi!”(Zenith Harris Merrill) (Sumber: Zenith
Harris Merrill, Monotheism – The Original Religion of Man, www.bloomington.in.us)
“Sifat,
peran, dan karakteristik dewa langit universal ini mungkin tersembunyi di bawah
bermacam wujud, tapi dia kurang-lebih selalu dapat dikenali oleh sejarawan agama
dan selalu identik dalam definisi esensial… Dewa langit telah memerintah di
mana-mana. Kerajaannya masih meliputi seluruh dunia tak beradab. (Dia
memerintah banyak dunia beradab pula dengan nama berbeda-beda.) Tak ada motif
historis dan protohistoris yang bisa ditetapkan sebagai penyebab, tidak pula
migrasi ras ataupun penyebaran mitos dan cerita rakyat bisa memberikan
justifikasi sedikitpun atas fakta ini. Universalitas dewa langit dan
keseragaman karakter esensialnya merupakan konsekuensi logis dari keseragaman
sistem kosmogoni primitif.” (G. Foucart) (Sumber: Zenith Harris Merrill, Monotheism –
The Original Religion of Man, www.bloomington.in.us)
“Istilah
Yunani, ‘Deos’ (Tuhan), telah mengalami perubahan pelafalan/geografis,
berbentuk ‘Deos’ di suatu kawasan, ‘Deus’ di kawasan lain, dan ‘Theos’ di
kawasan lain lagi. Itu cuma langkah kecil menuju ‘Zeus’, ‘Tuhan’ utama dalam
mitologi Yunani. Maknanya telah berubah perlahan-lahan, tapi konsep awalnya
bisa dengan mudah ditelusuri ke satu sumber bersama.”(Don Richardson) (Sumber: Zenith Harris
Merrill, Monotheism – The Original Religion of Man, www.bloomington.in.us)
“Para
teoris evolusi berpandangan bahwa konsep satu Entitas Tertinggi baru dicapai
setelah melewati keyakinan yang lebih rendah semisal pemujaan, dewa-dewa alam,
dan politeisme. Mereka kini menemukan bahwa semakin ‘primitif’ sebuah suku,
semakin maju idenya mengenai satu Tuhan sejati – monoteisme!” (Zenith Harris Merrill)
(Sumber: Zenith Harris Merrill, Monotheism – The Original Religion of
Man, www.bloomington.in.us)
“Temuan-temuan
semacam itu telah menggelisahkan evolusionis lebih daripada fenomena kebudayaan
lainnya.” (Don Richardson) (Sumber: Zenith Harris Merrill, Monotheism
– The Original Religion of Man, www.bloomington.in.us)
“Bukti-bukti
menunjukkan bahwa [manusia] memulai dengan Cahaya sejati dan kini pemahamannya
semakin gelap. Bukti atas hal ini di kalangan bangsa primitif ditemukan di
setiap pelosok dunia di mana bangsa semacam itu kini eksis atau pernah eksis pada
masa-masa belakangan. Dan paradoksnya, semakin primitif mereka, semakin
sederhana dan semakin murni keyakinan mereka.” (Arthur C. Custance) (Sumber:
Dr. Arthur C. Custance, From Monotheism to Polytheism, www.custance.org)
“Manusia
punya kebutuhan sosial, moral, dan emosional. Yang pertama, atau kebutuhan
sosial, dipenuhi oleh keyakinan awal dia terhadap Entitas Tertinggi yang juga
merupakan Bapak manusia. Yang kedua, atau kebutuhan moral, mendapat sandaran
dalam keyakinan terhadap Entitas Tertinggi yang juga merupakan Hakim kebaikan
dan keburukan dan Dia bebas dari semua noda moral. Kelompok kebutuhan yang
ketiga, atau emosional, dipenuhi oleh keyakinan dia terhadap Entitas Tertinggi
Pemurah yang dari-Nya tak ada yang keluar selain kebaikan. Manusia memiliki
kebutuhan lain pula. Dia mencari sebab rasional dan ini dipenuhi oleh konsep
Entitas Tertinggi yang menciptakan dunia dan yang memerintahnya sedemikian rupa
sehingga masuk akal, sedemikian rupa sehingga dapat dipercaya. Manusia juga
membutuhkan pelindung dan menemukannya pada Entitas ini yang maha kuasa. Jadi
dalam semua atribut ini, sosok dimuliakan ini melengkapi manusia primitif
dengan kemampuan dan kekuatan untuk hidup dan mencintai, untuk percaya dan
bekerja, dan untuk mengorbankan tujuan tak bernilai demi tujuan yang lebih
bernilai.” (Wilhelm Schmidt) (Sumber: Dr. Arthur C. Custance, From
Monotheism to Polytheism, www.custance.org)
“…karena
itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu
mengetahui.” (QS al-Baqarah [2]: 22)
“Terangkanlah
kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka
apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? atau apakah kamu mengira bahwa
kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah
seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang
ternak itu).” (QS al-Furqaan [25]: 43-44)
“Dan
katakanlah: ‘Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak dan tidak
mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan Dia bukan pula hina yang memerlukan
penolong dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya.’” (QS al-Israa [17]: 111)
“Orang-orang
yang mempersekutukan Tuhan akan mengatakan: ‘Jika Allah menghendaki, niscaya
kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami
mengharamkan barang sesuatu apapun.’ Demikian pulalah orang-orang sebelum
mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami…” (QS al-An’aam [6]: 148)
“Sesungguhnya
(agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah
Tuhanmu, maka sembahlah Aku.” (QS al-Anbiyaa’ [21]: 92)
0 komentar:
Posting Komentar