Oleh : Misbahuddin
Al-Qur’an dan as-sunnah merupakan
satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, Al_qur’an dan As-Sunnah merupakan
sebuah konsep terpadu untuk hidup dan kehidupan. sebuah aturan yang saling
melengkapi. Tidak bisa kita berislam hanya dengan mengamalkan Al-Qur’an saja
dengan meninggalkan as-sunnah. atau sebalinya. hal tercermin dalam Sabda Rasulullah.
“Telah kutinggalkan pada
kalian dua perkara, yang kalian tidak akan pernah tersesat selama kalian
berpegang teguh pada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah
Nabi-Nya.” (HR. At-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad)
Al-Qur’an membutuhkan interpretasi (
penjelasan ) as-sunnah dalam beberapa aspek.
bagaimanakah frame work atau
metodologi yang digunakan As-Sunnah dalam ‘ mendampingi’ Al-qur’an sebagai undang-undang kehidupan (
The Law of Life ). Di dalam Kitab Tafsir Wal Mufasiruun, Imam ad-dahabi
menjelaskan metodologi As-sunnah dalam menginterpretasikan Al-Qur’an.
Metodologi pertama, As-sunnah
menjelaskan kemujmalan dari ayat Al-qur’an, menjelaskan ayat-ayat yang masih samar (
musykil ), mengkhususkan dari ayat Al-Qur’an yang umum. dan mentaqyid dari
ayat-ayat Al-Qur’an yang Mutlaq.
Dari metodologi pendekatan ( Approach
Metode ) yang digunakan as-sunnah dalam metodologi yang pertama ini,
menghasilakan empat ‘ cabang ‘metodologi
yaitu
1.
Menjelaskan
kaifiyat / sifat.
Didalam Al_qur’an tidak dijelaskan
kapankah waktu-waktu sholat itu, maka As-sunnah sebagai ‘ pendamping ‘
menjelaskan hal tersebut, termasuk bilangan rokaat, kaifiyaatnya.
صَلوُّا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَليِّ
"Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku
sholat" (HSR. Al-Bukhori).
Contoh yang lain, Al-Qur’an
menjelaskan perintah zakat, tetapi tidak menjelaskan ukuran-ukuran zakat,
waktu-waktu untuk mengeluarkan zakat dan macam-macam jenis yang harus dizakati. maka disinilah
As-sunnah berperang penting dalam memberikan kejelaskan kepada manusia.
sehingga aturan-aturan Islam tidak dipahami secara parsial.
2.
Menjelaskan Tafsir
Dari Al-Qur’an
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا
حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ
الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ
وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا
تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ
يَتَّقُونَ
Dan makan minumlah hingga terang
bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah
puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu,
sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu
mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia,
supaya mereka bertakwa. ( QS.Al-Baqoroh : 187 )
Kalimat dalam ayat tersebut, “makan minumlah hingga
terang bagimu benang putih dari benang hitam “ ditafsirkan oleh As-sunnah
adalah. “ makan dan minumlah sehingga terang atau jelas cerahnya siang dari
malam “.
3.
Mengkhusukan Ayat Al-Qur’an
الَّذِينَ آمَنُوا
وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ
مُهْتَدُونَ
Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampur adukkan iman mereka dengan kedholiman, mereka itulah orang-orang yang
mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (
Al-an’am : 82 )
sebagian sahabat memahami kata ‘
dholil ‘ di QS. Al-An’am ayat 82 diatas secara umum, termasuk perbuatan dholimterhadap diri
sendiri, maka mereka mengjukan sebuah pertanyaan. “ dan bagimana kami tidak
mendholimi diri sendiri ??. Maka
memberikan penjelasan bahwa , “ bukanlah mendholomi diri sendiri yang
dimaksud ayat tadi, tetapi dholim yang dimaksud adalah syirik.
4.
Mentaqyid (
mensfesipikasikan ayat Al-qur’an )
As-Sunnah
sebagi pentaqyid dari Al-qur’an. contoh dalam kata, ‘tangan’ dalam firman Allah.
“Artinya
: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya..” [Al-Maidah : 38].
Ayat ini tidak menjelaskan sampai
dimanakah batas tangan yang akan di potong. maka disinilah persan as-sunnah
atau hadist diperlukan, maka as-sunnah memberikan penjelasan bahwa batasan dan tangan yang
harus dipotong adalah sampai pergelangan tangan. (Subulus Salam 4 : 53-55)
Meodologi
kedua, As-sunnah menginterpretasikan sebuah lafadz dalam al-Qur’an yang memilki
keterkaitan. seperti menjelaskan yang dimaksud lafadz ‘magdhub ‘ dan ‘ dholiliin
’ dalam Surat Al-fatihah dengan Yahudi dan nasroni.
Contoh
kedua yaitu dalam surat
وَلَهُمْ فِيهَا
أَزْوَاجٌ مُّطَهَّرَةٌ وَهُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
baginya
di dalamnya ada pasangan yang suci, serta mereka kekal di dalamnya.
Lafadz ‘ Muththoharoh ‘ di taqyid, dispesifikasikan
bahwa pasangan yang ‘Muththoharoh’ atau suci itu adalah pasangan yang bersih dari
haidh, ingusan dan lendiran.
Metodologi
ke tiga, As-Sunnah menetapkan dan membentuk hukum-hukum yang tidak terdapat di
dalam Al-Qur’an.Diantara hukum-hukum itu ialah tentang haramnya keledai negeri,
pengharaman menikahi seorang perempuan dengan bibinya, perintah zakat
fitri, merajam penjina yang sudah nikah,
pengharaman binatang buas yang mempunyai taring, burung yang mempunyai kuku
tajam, juga tentang haramnya mengenakan kain sutera dan cincin emas bagi kaum
laki-laki. Semua ini disebutkan dalam hadits-hadits yang shahih.
Dengan
demikian tidak mungkin terjadi kontradiksi antara Al-Qur’an dengan As-Sunnah.
Imam
Syafi’i berkata : “Apa-apa yang telah disunahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang tidak terdapat pada Kitabullah, maka hal itu merupakan hukum
Allah juga. Sebagaimana Allah mengabarkan kepada kita dalam firman-Nya.“Artinya
: .Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus,
(Yaitu) jalan Allah yang kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan apa
yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa kepada Allahlah kembali semua urusan”.
[Asy-Syuura : 52-53].
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan hukum yang terdapat dalam
Kitabullah, dan beliau menerangkan atau menetapkan pula hukum yang tidak
terdapat dalam Kitabullah. Dan segala yang beliau tetapkan pasti Allah
mewajibkan kepada kita untuk mengikutinya. Allah menjelaskan barangsiapa yang
mengikutinya berarti ia taat kepada-Nya, dan barangsiapa yang tidak mengikuti
beliau berarti ia telah berbuat maksiat kepada-Nya, yang demikian itu tidak
boleh seorang mahlukpun melakukannya. Dan Allah tidak memberikan kelonggaran
kepada siapapun untuk tidak mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam. [Ar-Risalah hal. 88-89]
Ibnul Qayyim berkata : “ Adapun
hukum-hukum tambahan selain yang terdapat di dalam Al-Qur’an, maka hal itu merupakan
tasyri’ dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang wajib bagi kita
mentaatinya dan tidak boleh kita mengingkarinya. Tasyri’ yang demikian ini
bukanlah mendahului Kitabullah, bahkan hal itu sebagai perwujudan pelaksanaan
perintah Allah supaya kita mentaati Rasul-Nya. Seandainya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ditaati, maka ketaatan kita kepada Allah
tidak mempunyai arti sama sekali. Karena itu kita wajib taat terhadap apa-apa
yang sesuai dengan Al-Qur’an dan terhadap apa-apa yang beliau tetapkan hukumnya
yang tidak terdapat di dalam Al-Qur’an.Allah subhanahu wa Ta’ala berfirman
:
“Artinya : Barangsiapa taat
kepada Rasul berarti ia taat kepada Allah”. [An-Nisaa : 80].
Metodologi
ke empat, memberikan keterangan ayat-ayat yang dimansuh ( dihapus )walaupun
dalam masalah ini, ( penghapusan ayat Al-Qur’an oleh as-sunnah ) terdapat
perbedaan pendapat ( kontropersi ). tetapi saya mengambil ayat Al_qur’an yang
dihapus oleh hadits menurut pandangan imam adahabi. salah satu contohnya adalah Surat An-nisa :
15
وَاللَّاتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ
فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ فَإِنْ شَهِدُوا
فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ
اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا
Dan (terhadap) para wanita yang
mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu
(yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka
kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya,
atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya.
Ayat
diatas tadi kedudukanya manshuh/ dihapus oelh hadits,
البكربالبكر جلد مأة وتغرييب عام
Ada
hadits yang semakna dengan hadits ini yang diriwayatkan oleh Imam bukhori, bahwasanya
Rasulullah saw pernah memberikan hukuman kepada orang yang berzina (belum
menikah) dengan hukuman dibuang (diasingkan) satu tahun dan pukulan seratus
kali.”
Metodologi
kelima, sebagai penjelasan yang menguatkan ( lita’qid ). disini as-sunnah
berpersan sebagai penguat apa-apa yang datang dari Al_qur’an. seperti sabda :
لايحل مال امرئ مسلم إلّا بطيب نفسه منه
“
Tidak halal harta seseoarang muslim kecuali didapat dengan cara yang baik “
nah,
hadist ini kedudukanya adalah sebagai ‘ta’kid ‘ atau penguat bagi ayat Al-Qur’an
di bawah ini
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا
تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً
عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ
رَحِيمًا
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman, janagnlah kalian memakan harta-harta kalian di
antara kalian dengan cara yang batil, kecuali dengan perdagangan yang kalian
saling ridha. Dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian, sesungguhnya
Allah itu Maha Kasih Sayang kepada kalian. ( An-Nisa : 29 )
Beberapaa metode pendekatan (
approach metode ) diatas merupakan frame work as-sunnah dalam menginterpretasikan
ayat-ayat Al_Qur’an. sehingga pahamlah kita secara sempurna apa yang
dimaksudkan Allah dalam Al_Qur’an. Wallahu ‘alam