STUDI
POLITIK ISLAM*)
Oleh:
Misbahudin**)
- PENDAHULUAN
Kehidupan politik islam yang
begitu komolek dan menyita perhatian yang begitu besar,karena segala aspek kehidupan kita ternyata adalah
hasil dari kebijaksanaan politik (politic wisdom) di sebuah negara yang kita
diami,maka di dunia politik merupakan ladang dakwah juga,tentunya dengan godaan
yang besar juga,karna dunia politik membuat orang haus akan kekuaasaan karena
tujaan dari politik sendiri adalah kekuasaan,maka orangnya akan bekerja sekuat tenaga untuk mendapatkanya,maka semakin orang membicarakan
politik maka akan semakin besar rasa
dahaganya.bahkan ukhuwa tidak ada peran yang krusial didalamnya,ada sebuah
pepatah yang menarik “there is’not
real prendsip but only perenis perpose in politic world”.
Politik islam adalah cita-cita
luhur yang terikat oleh nilai-nilai moral agama,untik itu perlu dikembalikan
kepada sumber aslinya yaitu berupa kitab suci,tradisi politik yang adiluhung
dan integritas moral para poltilisinya.
Ilmu atau teori politik islam
bersumber dan diderivasi dari al-qur’an,kita bias melihat secara explicit dari ayat-ayat al-qur’an,sebab politik
menyangkut banyak bidang kehidupan ,sedang ayat –ayat dalam al-qur’an apabila kita memehami dengan penalaran yang
dalam maka akan jelas dimata batin kita tntang prinsip-prinsip luhur berpolitik
ala islam,konsep ayat-ayat itu berkaitan satu dengan yang lain dan membentuk
sebuah struktur konsep yang sempurna (perfect consep stuctur) sebagai contoh
konsep khalifah (Q.S.Al-baqarah:30,al-nur:55,al-naml:62,al-Sad:26.al-an’am:165.)yang
berkaitan dengan konsep hukum dan keadilan (Q.S. An-nisa :58.105,135,al-maidah
:6)dan juga kepemimpinan dan musyawarah(Q.S.Ali imran
:159,as-syuro:38)prinsip-prinsip tentang
persudaraan dan persatuan,Q.S.Ali
imran:103,al-hujurat:10)tentang prinsip persamaan(Q.S.AN-NISA1,)Prinsip tentang
tolong menolong dan menolong yang
lemah,(al-maidah:2,at-taubah:11.al-balad:12-16). Perdamaian dan
peperangan,(QS.an-nisa:89-90al-anfal:61) dan lain sebagainya yang sangat
komplek,sekomplek kehidupan manusia itu sendiri.
Sejatinya ,apa yang diperintahkan
Al-quran untuk mentranspormasikan didalam kehidupan,seperti prinsip
persamaan,persaudaraan, keadilan,kemaslahatan dan sebagainya, itu telah
dilaksanakan oleh nabi Muhammad SAW,di negara madinah,yang didirikanya itu.
Akan tetapi tidak semua yang
dilaksanakan nabi berasal dari perintah
al-quran,termasuk mendirikan negara madinah.hanya saja praktek nabi itu
meruoakan sarana untuk melaksanakan perintah yang lain.hal ini oleh para ulama
disebut syiasat –ur-rasul.
Istilah tesnis untuk menjalankan
perintah –perintah itu baik yang berasal dari al-quran atau tidak disebut
syiasah
- PENGERTIAN
DAN PERKEMBANGAN POLITIK ISLAM
Menurut etimologi syiasah berasal
dari kata asli bahasa arab ‘syasa-yasusu-syiasatan”yang berarti
mengatur,mengurus ,dan memerintah (lihat almunjid,lisan al-arab)dan biasa juga
berarti pemerintahan dan politik atau membuat kebijaksanaan,arti syiasah tidak
jauh beda sdari kata politik yang berarti to geveren atau to lead,namun karena
politik dalam islam berkaitan dengan perbagai konsep kehidupan yang didasari
pada agama,maka syiasah memiliki dimensi moral yang kuat dab etika.politik
diorientasikan untuk melaksanakan perintah-perintah dalam syariah islam,maka
istilahnya dia berkembang menjadi al-syiasah as-syariah atau fiqh as-syiasah.
Menurut ibnu aqil secara tegas
menyatakan bahwa yang disebut syiasah adalah perbuatan yang membawa
manusia dekat kepada kemaslahatan dan menghindarkan diri dari kerusakan walaupu
rasul tidak menetapkanya dan Allah tidak
mewajibkannya (dalam ibn al-qoyyim ,at-turuq al-hukumiyah fi syiasah
as-syariyah ).abdul wahab khalaf dalam as-syiasah as-syar’iah mendepinisikan siyasah sebagai pengelolaan
masalah umum bagi negara yang bernuansakan islam,yang menjamin terealisasinya
kemaslahatan dan terhindar dari kemadhorotan
dengan tidak melanggar ketentuan syariat
Dijaman yang terbaik di era
shabat khususnya sesudah nabi wapat ,masalah politik islam yang paling
mengemuka dan menonjol adalah konsep kepemimpinan (imamah,khilafah,bay’ah
)sehingga sering dibahas ole para ulama .ini tidak lepas dari karakter
masyarakat islam yang meletakan peran pemimpin begitu sentral dan
menentukan.peristiwa di syaqifah adalah pelaksanaan syuro pertama dalam islam
.karena dsitu disepakati siapa yang menjadi pemimpin pengganti rasululah .selain itu peristiwa tahkim antara
ali dan muawiyah juga memunculkan persoalan
yang sama yaitu kepemimpinan,
Dari ayat-ayat alquran yang
dijelaskan dan diperaktekan nabi serta peristiwa yang terjadi dijaman shahabat
dantabiin para ulama menulis karya-karya politiknya .sebut saja misalnya ibn
abi rabi (w .842 M)Menulis buku yang berjudul suluk almalik fi tadbir
al-mamalik .pada ke 4 hijrah al-farabi
{w.339,H/950 M) Menulis dalam bukunya madinat-al-fadilah .pada abad ke 5 H
Banyak ulama yang membahas politik.al-baqilqni
(403 H/1013 M)Membuat buku yang berjudul at-tamhid yang membahas
politik.disusul oleh al-bagdadi (w,429 H/1037M)yang mengarang buku aqidah
ussuludien yang memuat masalah politik ,demikian al-juwaini (w,478
H/1087 M)Yang menulis kitab al-irsyad .dan karya politik yang terkenal pada
abad .
- PROBLEM
SOLVING MENUJU DAULAH ISLAM
INDONESIA
Kewajiban Mengangkat Imam
Sesunggunya urusan agama ini yaitu Islam tidak akan dapat berjalan menuju
kesempurnaan peranannya membawa rahmat bagi seluruh alam jika peran Islam dalam
mengatur aspek pemerintahan “dikebiri”. Dengan kondisi ini, selamanya Islam
akan berjalan sebatas pada individu-individu muslim yang menganutnya dan tidak
akan memiliki penampakan atau pengaruh politik. Secara epistimologi, Islam
sebagai sebuah worldview telah memberikan seperangkat peraturan dalam
seluruh aspek kehidupan serta mewajibkan kaum muslimin untuk menerapkannya.
Abdul Qodim Zallum dalam kitabnya Nidzam Al-Hukumi Al-Islam mengatakan
“Dan ia (risalah Islam) adalah risalah menyeluruh untuk manusia yang mengatur
seluruh urusan kehidupan termasuk hubungan anatra kehidupan dunia dengan apa
yang ada sebelumnya dan apa yang ada setelahnya.
Inilah
relevansinya mengapa Islam mewajibkan kaum muslimin untuk mengangkat seorang
pemimpin. Pemimpin yang dimaksud disini bukan pemimipin spiritual sebagaimana
halnya posisi Paus bagi umat Katolik. Pemimpin yang dimaksud juga mencakup
pemimpin politik, sebagaimana halnya Nabi Muhammad Saw. ketika di Madinah.
Beliau tidak hanya sekedar utusan Allah tetapi juga sebagi Kepala Negara
Madinah. Dengan kapasitasnya sebagai seorang pemimpin politik maka Nabi
Muhammad bertanggung jawab dan memiliki otoritas mengatur kehidupan Madinah.
Dalam piagam Madinah mengatakan, “Dan apapun yang kalian perselisihkan mengenai
suatu urusan, maka penyelesaiannya dikembalikan kepada Allah Yang Maha Perkasa
dan kepada Muhammad Saw. (Lihat. Shirah Nabawiyah; Sisi Politik Perjuangan
Rasulullah Saw oleh Qol’ahji Rawwas). Sementara dari aspek pelaksanaan
politik luar negeri, kepemimpinam politik Muhammad tampak dalam aktivitas
beliau mengirim tentara untuk menghadapi pasukan Quraisy baik dalam perang
Badar, Uhud, dan Khaibar, dll. Dan pengiriman surat-surat kepada para rajadi
Jazirah Arab maupun diluar Jazirah Arab, seperti Persia, Romawi, Habasyah, dll.
Ini semua tidak dapat bisa dilakukan kalu kapasitas Nabi Muhammad di Madinah
Hanya sekedar Pemimpin Spiritual Kaum Muslimin. Jadi jelas Nabi Muhammad
sesungguhnya merupakan seorang Kepala Negara Madinah.
Kewajiban
mengangkat seorang pemimpin bagi kaum muslimin ini juga dipahami oleh Mutsaqqofin
Muslimin generasi awal. Imam Al Ghazali menyatakan bahwa kewajiban
mengangkat kepala Negara bukanlah berdasarkan rasio, tetapi berdasarkan
keharusan agama. Agama adalah fundamen sementara penguasa adalah pelindungnya.
Berdasarkan pemahaman ini, Imam Al Ghazali tidak memisahkan antara agama dan
Negara. Beliau justru mengatakan bahwa antara agama dan dengan Negara bagaikan
saudara kembar. Adanya agama bukan hanya mengatur kehidupan individual,
melainkan juga kehidupan kolektif. Dalam kitabnya Al-Iqtishad fil Al-I’tiqad
beliau mengatakan, “Agama dan kekuasaan
adalah dua saudara kembar. Agama adalah fondasi dan kekuasaan adalah
penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan roboh dan segala
sesuatu yang tidak berpenjaga niscaya akan lenyap.”
Ibnu
Hazm berkata, “Telah sepakat semua Ahlu Sunnah, semua Murji’ah, semua Syi’ah
dan semua Khawarij mengenai wajibnya Imamah (Khilafah), dan bahwa Ummat Islam
wajib menta’ati Imam yang adil yang akan menegakkan hukum-hukum Allah dan
ditengah-tengah mereka dan mengatur mereka dengan syari’at yang dibawa
Rasulullah .” (Lihat. Al Fashl fi Al Milal wa Al Ahwa An Nihal).
Syaikh
Abdurrahman Al Jaziri dalam kitabnya Al Fiqh ‘ala Al Madzahib Al Arba’ah mengatakan
“seluruh Imam Madzhab dan para Mujtahid besar tanpa kecuali telah bersepakat
bulat akan wajibnya Khilafah (Imamah). Para Imam Madzhab ( Abu Hanifah, Malik,
Syafi’I dan Ahmad Rahimahumullah) telah sepakat bahwa Khilafah wajib
padanya, dan bahwa Umat Islam wajib mempunyai seorang Imam yang akan
meninggikan agama serta menoplong orang-orang yang tertindas.
Jadi,
kepentingan adanya pemimpin adalah untuk menerapkan syari’at Islam dalam seluruh
aspek kehidupan. Keberadaan pempimpin ini harus dalam skala sebuah institusi
politik Negara, karena kalau tidak dalam institusi Negara, maka tidak akan
tercapai pelaksdanaan aturan Islam yang menyeluruh tadi. Adapun mengenai
definisi Imamah/ Khilafah Imam Al Mawardi dalam kitabnya Al Ahkam Al
Sulthoniyyah wal Wilayat Ad Diniyyah “Imamah itu ditetapkan sebagai
pengganti kenabian yang digunakan untuk memelihara agama dan mengatur dunia.
Abdul Qadir Jallum mengatakan Dalam Nidzam Al Hukm Fil Al Islam Khilafah adalah
kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum
syari’at Islam dan mengemban dakwah islam ke seluruh penjuru dunia.”
Karakteristik Kepemimpinan Politik Islam
Kepemimpinan
politik Islam adalah kepemimpinan yang unik islam sebagai sebuah worldview mampu
menggabungkan kepemimpinan dunia dan akhirat sebagaimana dikatan oleh Imam Al
Ghazali, bahwa Islam dan Negara adalah ibarat dua saudara kembar. Islam adalah
akidah spiritual sekaligus akidah politik/ Siyasah. (Lihat Hafidz Abdurrahman, Diskursus
Islam Politik dan Spiritual). Tidak seperti worldview lain di dunia ini
yang hanya mampu memenuhi satu unsure saja, dunia saja atau akhirat saja.
Agama-agama selain islam hanya mengatur hubungan antara individu dengan tuhannya,
tidak mengatur hubungan social secara sempurna dimasyarakat yang tertua dalam
aturan politik, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain. Adapun idiologi lain baik
sekulerisme maupun komunisme justru menapikan Tuhan dalam ranah politik, atau
tidak memberi kesempatan kepada tuhan untuk mengatur kehidupan. Dengan
demikian, hanya Islam yang memiliki kemampuan memimpin skala politik di dunia
sekaligus memiliki konsep yang jelas membawa kepemimpinan politik tersebut
menuju kepemimpinan akhirat dengan tetap menjamin tercapainya kemaslahatan umum
di dunia, baik untuk muslim maupun non muslim.
Secara
ringkas, karakteristik kepemimpinan politik Islam dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1.
Kepemimpinan
Islam ditegakkan untuk menerapkan hukum Allah
Tidak
seperti kepemimpinan Demokrasi yang ditegakkan untuk menerapkan kehendak
rakyat, kepemimpinan Islam ditegakkan untuk menerapkan kehendak Allah yang
tertuang dalam syari’atnya yang sempurna. Allah berfirman dalam Surat Al
Maidah: 44, 45, 47. Kedaulatan dalam Islam hanya milik Allah sebagaimana dalam
surat Yusuf: 40 “Sesungguhnya hak membuat hukum hanya milik Allah swt”.
Imam
Al Mawardi dalam kitabnya Al Ahkam Al Sulthoniyyah wal Wilayat Ad Diniyyah memberikan
sepuluh tugas seorang pemimpin yang meliputi:
Pertama,
memelihara agama dalam masalah-masalah
ushul yang telah disepakati oleh Salafkl Ummah.
Kedua,
menerapkan hukum-hukum diantara orang yang berselisih dan menghentikan sengketa
diantara mereka.
Ketiga,
menjaga negeri dan berusaha menjaga
stabilitas.
Keempat,
menegakkan hudud.
Kelima,
membentengi perbatasan dengan
persenjataan dan kekuatan yang mampu menolak musuh.
Keenam,
melancarkan jihad terhadap musuh
Islam.
Ketujuh,
memungut fa’I dan zakat.
Kedelapan,
menentukan besarannya pemberian dan
harta apa saja yang berasal dalam Baitul Mal.
Kesembilan,
mempercayakan harta kepada orang yang
jujur dan menyerahkan kepada orang yang memberi nasihat dan mewakilkan harta
tersebut kepada mereka agar tugas-tugas dapat dilaksanakan dengan baik. Dan
harta-harta dapat terpelihara.
Kesepuluh,
Khalifah mengawasi sendiri pelaksanaan
berbagai tugas dan mengontrol keadaan yang ada.
2.
Kepemimpinan
Islam adalah kepemimpinan Tunggal
Dalam
khazanah politik islam tidak dikenal adanya pembagian kekuasaan. Kekuasaan
berada ditangan Khalifah secara mutlak. Seluruh kaum muslimin wajib ta’at dan
menyerahkan loyalitasnya hanya kepada seorang pemimpin saja, yaitu imam yang
telah di bai’at secara sah. Rasulullh saw bersabda “Siapa saja yang telah
membai’at seorang Imam, lalu ia memberikan ulurjn tangan dan buah hatinya,
hendaklah ia menta’atinya jika ia mampu. Apabila ada orang lain hendak
merebutnya (kekuasaan) maka penggallah leher orang itu.” (H.R. Muslim)
3.
Kepemimpinan
Islam bersifat Universal
Kepemimpinan
Islam bukan kepemimpinan local maupun regional. Dengan adanya seruan dakwah dan
jihad yang menjadi asas politik luar negeri Islam, maka sangat memungkinkan
batas wilayah Negara Islam akan terus melebar hingga mencakup seluruh dunia.
Allah swt. Berfirman “Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat
manusoia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi
peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya”. (Q.S As saba:
28)
4.
Kepemimpinan
Islam bukan kepemimpinan Totalitarianisme
Kepemimpinan
tertinggi secara pritik yang dipegang oleh penguasa berfungsi untuk melakukan
pengaturan aturan masyarakat. Kepemimpinan dalam ranah politik ini seringkali
dibenturkan pada dua konsep kepemimpinan yang berada pada pola yang berlawanan
yaitu dictator atau demokrasi. Dictator atau Totalitarianisme merupakan sebuah
istilah spesifik yang digunakan untuk menggambarkan suatu pemerintahan, dimana
kekuasaan politik memegang kendali secara terpusat dan absolute dalam seluruh
aspek kehidupan. Individu merupakan subordinat Negara, dan oposisi politik
maupun cultural ditekan secara keras. Jadi Diktator tidak hanya mewujudkan
senuah kepemimpinan Negara yang sentralistik, tetapi juga ketundukkan rakyat
yang luar biasa terhadap keputusan-keputusan pemimpin. Keputusan-keputusan
pemimpin adalah final dan tidak bisa diganggu gugat.
5.
Kepemimpinan
Islam bersifat Manusiawi
Seorang
pemimpin bukanlah orang yang bebas dari dosa dan kesalahan. Ia bisa salah dan
lupa karena ia tidak ma’shum. Untuk itu syarat kepemimpinan dalam Islam
bukanlah ke-ma’shuman akan tetapi keadilan. Adil adalah orang yang
terkenal konsisten dalam menjalankan agamanya (bertaqwa dan menjaga
kehormatannya). Orang fasiq tidak boleh menjadi pemimpin atau penguasa. Allah
Swt berfirman “Persaksikanlah dua orang yang adil diantara kamui sekalian”
(Q.S. Ath Thalaq:2).
Jika
saksi saja diharuskan memiliki sifat adil, apalagi pemimpin (Imam/ Khalifah)
karena Imam atau Khalifah memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari pada saksi.
Oleh karena itu, serorang pemimpin harus memiliki sifat adil, dan tidak harus ma’shum.
*) Makalah ini disampaikan pada Acara Forum
Diskusi Mohammad Natsir di Masjid Wadhhah Al Bahr Pusdiklat Dewan Dakwah.
**) Penulis adalah Mahasiswa STAI Publistik
Thawalib Jakarta. Alumni Pesantren Hadits Tahdzibul Washiyah (Gumuruh)
Bandung, Asuhan Ust. Utsman Solehudin (Ketua Dewan Hisbah PP. Persatuan Islam).
0 komentar:
Posting Komentar