MEMBONGKAR KEBUSUKAN TAFSIR HERMENEUTIKA
“
Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci
mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka
siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat).
Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS.AL-Jaatsyiah
:23)
Issu hermenerika sebagai tafsir alternatif untuk
Al-Qur’an begitu santer diperbincangkan oleh sebagian mahasiswa thawalib Jakarta
yang intens mengamati dunia pemikiran. sebuah wacana “ Hermenetika Tafsir
Alternatif Yang Relevan Dengan Jaman “ yang dilemparkan oleh salaseorang
dosen menjelang pelaksaaan UAS ketika perkulihan berlangsung, so hal itu
menarik untuk kami menanggapinya secara ilmiah dengan hujjah yang bisa
dipertanggung jawabkan.
Pengertian hermeneutika
Hermeneutika
merupakan derivasi dari bahasa yunani dari akar kata hermcneuin,
yang berarti menafsirkan. Hermeneutika adalah metode penafsiran yang
merupakan hasil dari perkembangan metode interpretasi mitologis, interpretasi
teologis dan kini lebih dikenal dengan metode interpretasi filsafat. sebagai
metode intepretasi teologis hermeneutika asalnya digunakan sebagai interpretasi bible (BibLical
interpreation) dan sebagai metode penafsiran filosofis digunakan untuk
menafsirkan ilmu-ilmu humaniora. Secara filosofis teori hermeneutika hanya
layak digunakan untuk penafsiran-penafsiran
teks-teks biasa dan tidak untuk kitab suci. Akan tetapi kaum orientalis
yang berpengalaman dengan interpretasi bible ,mencoba melakukannya untuk
Al-Qur’an. Ekperimen ini diikuit oleh Fazrurrahman, M.Arkoun, Shahrur Dan Nasr
Hamid Abu Zayd. (Majalah Islamia, Vol.V No.1)
Hermeneutika menjadikan Al-Qur’an bukan lagi firman
Allah yang harus di sucikan, tetapi Al-Quran kesuciaannya telah diporak
porandakan oleh hermeneutika. Firman Allah disejajarkan dengan teks-teks biasa
seperti karya tulis manusia biasanya. metode interpretasi hermeneutika filosofis Abu
Zayd menyimpulakan bahwa Al-Qur’an adalah produk budaya ( Muntaj thaqafi)
fenomena sejarah (zahirah tarikhiyyah) teks lingustik (An-nass al-lughowiyyah)
dan teks manusia an-nas al-insan).
Jurus yang
digunakan oleh Abu Zayd dalam memporak porandakan kesakralan Al-Qur’an adalah
dengan mereduksi teks wahyu al-quran menjadi teks-teks manusia biasa yang tidak memiliki makna kesucian yaitu
dengan mengesampingkan nilai-nilai kewahyuan yang terdapat di dalam Al-Quran. Hal ini adalah syarat mutlaq agar Al-Qur’an bisa
di porak porandakan secara habis-habisan
dengan analisa dan kritik teks dengan resep racikan hermeneutika
filososfis.
Asbabul wujud adanya hermeneutika
Dr. Adian husaini dalam tulisannya di majalah islamia
thun 1 no 1 menukil dari The New Encylopedia Britania yang menjelaskan bahwa hermeneutika adalah prinsip-prinsip
general tentang interpretasi bible (the
study of the general principle of biblical interpretation). Tujuan asalnya
dari hermeneutika adalah untuk menemukan kebenran dan nila-nilai dalam bible.
Metode hermeuneutika memang pantas di gunakan sebagai
metode tafsiran kitab bible atau kitab-kitab yang dibuat manusia. Kerena
hermeuneutika menitik beratkan analisanya dan studi kritik teks terhadap
sosio-kultur ketika teks itu di buat dan keadaan penulis waktu menulis teks
tersebut.
Karena kitab bible dari sejak jaman dahulu di
permasalahkan apakah benar kitab ini adalah firman tuhan?, ataukan ucapan
manusia belaka. Maka seorang intelektual
Richard Elliot Friedman menulis buku yang di beri judul “ WHO WROTE THE BIBLE “. Ini merupakan karya yang
menghujat dan mempertanyakan ke sucian bible sebagai kitab suci, karena dalam
fakta sejarah tidak di ketemukan siapakah sebenarnya yang menulsi bible itu.
Koar-Koarnya Abu Zayd Tentang Al-Qur’an Yang harus dihermeneutikasisasi
Abu zayd menyimpulkan bahwa pembacaan teks-teks
ke agamaan (Al-Qur’an Dan As-Sunah ) hingga saat ini masih belum menghasilkan
penafsiran yang bersifat ilmiah dan objektif bahkan masih di kerankeng dengan
mitos, khurofat, tahayul dan masih bersifat lieteral, alias terlalu kaku dengan
berpegang pada teks. Oleh karena itu untuk dalam mewujudkan interpretasi yang
hidup dan saintifik terhadap teks- teks
keagamaan, abu zayd menawarkan penafsiran rasional dan menekankan pentingnya
kesadaran ilmiah dalam berinteraksi dengan teks-teks keagamaan (Abu zayd. Al-Qur’an
Dihujat hal.6)
Maka dalam pandanganya
tafsir-tafsir ulama yang ada hingga saat ini, termasuk kitaf tafsir ibnu
katsir, tafsir ath-thobari dan kitab tafsir yang lainnya dari kalangan
ulama adalah sebuah karya tulisan yang
masih terkungkung oleh mitos, tahayul, tidak ilmiah dan tidak rasional.
Penafsiran idiologis yang dkecam oleh Abu Zayd adalah penafsiran yang mengutamakan
tafsir ayat dengan ayat, ayat dengan hadist dsb. Tafsir yang model ini adalah tafsiran yang tidak objektif dan tidak
rasioanal, maka dengan gaya penafsirannya, abu zayd menolak pemaknaan jin,syetan
dan hal-hal yang ghoib lainnya sebagai mahluk-mahluk yang indefenden di luar
manusia. Tetapi menurutnya harus di maknai dengan makna kiasan, yaitu kekuatan
jahat dalam diri manusia (Naqd Al-Khitob Hal 206).
Sedangkan interpretasi rasional yang diinginkan abu
zayd adalah corak pendekatan interpretasi yang dilakukan oleh golongan sang
pencerah ( tanwiriyyun) dari kaum
modernis yang sering disebut kaum sekuler. Karena pada intinya sekulerisme bagi
Abu Zayd adalah tidak lain melainkan ajaran tentang “ interpretasi realistis dan pemahaman
yang ilmiah terhadap agama “. Dengan demikain abu zayd merombak makna
sekuler dan menolak tegas tuduhan kaum
fundamentalis islam yang memandang golongan sekuler sebagai golongan yang
memisahkan agama dari masyarakat dan kehidupan sosial. (Al-Qur’an di hujat.
Hal. 23-24).
Jika kita ekplorasi lebih dalam terhadap pemikiran Abu
Zayd, maka dasarnya konsep mitos Abu Zayd terpengaruh oleh pemikiran Rudolf
Bultman (1884-1976) yang mencangankan demitologisasi terhadap perjanjian baru.
Menurut Kang Bultaman Mitos hal-hal yang mencakup adanya mukjizat,
adanya jin, syetan, dan hal-hal ghoib lainnya harus di tafsirkan dengan rasionalis dan
empirisme yang tidak di kungkung oleh dogma dan doktrin agama. Maka secara
tidak langsung Abu Zayd telah menyamakan
Al-Qur’an yang suci dengan bible yang penuh dengan masalah. Dengan
menggiringnya pada metode penafisran yang diaggap rasional. (hermeneutika
filosofis). Inilah sebuah pelecehan yang terselubung.
Konsekuensi Terhadap Diretapkannya Hermeneutika Terhadap Al-Qur’an
Metode kritik sejarah yang terkandung dalam
hermeneutika bila diterapkan dalam Al-Qur’an
maka akan membawa dampak yang berbahaya. Sebab teks Al-Qur’an akan diposisikan
sejajar dengan teks-teks buku biasa lainya (argument kesetaraan jender
perfektif Al-qur’an. Paramadina, hal 265-266).
Hukum-hukum yang sudah qot’i akan menjadi begitu
pleksibel dan bisa di tarik ulur sesuai dengan keadaan jaman dan waktu. Seperti alkhol atau
babi yang sudah jelas haram akan menjadi boleh dimakan. Dengan rasionalisasi
hermenutika. Al-kohol dilarang diwaktu jaman sahabat karena pada kondisi itu
arab sangat panas dan akan membahayakan kesehatan. Berebda ketika kita tinggal
di tempat yang begitu dinggin alkohol di
bolehkan. Karena melihat sosio-kultur ketika al-kohol itu di haramkan. Dan
banyak contoh yang lainya.
Hermeneutika mengajak kita untuk kufur tanpa kita
sadari. Karena kesimpulan ekplorasi
hermeneutika terhadap Al-quran adalah : al-qur’an adalah produk budaya (Muntaj
thaqafi), fenomena sejarah (zahirah
tarikhiyyah) teks lingustik (An-nass al-lughowiyyah) dan teks
manusia (an-nas al-insan). hal ini menghilangkan kesakralan firman
ilahi. Wallahu
a’lam bishowwab
0 komentar:
Posting Komentar