Sabtu, 24 Maret 2012

MEMBONGKAR KEBUSUKAN TAFSIR HERMENEUTIKA


MEMBONGKAR KEBUSUKAN TAFSIR HERMENEUTIKA

“ Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS.AL-Jaatsyiah :23)

Issu hermenerika sebagai tafsir alternatif untuk Al-Qur’an begitu santer diperbincangkan oleh sebagian mahasiswa thawalib Jakarta yang intens mengamati dunia pemikiran. sebuah wacana “ Hermenetika Tafsir Alternatif Yang Relevan Dengan Jaman “ yang dilemparkan oleh salaseorang dosen menjelang pelaksaaan UAS ketika perkulihan berlangsung, so hal itu menarik untuk kami menanggapinya secara ilmiah dengan hujjah yang bisa dipertanggung jawabkan.

Pengertian hermeneutika

Hermeneutika  merupakan derivasi dari bahasa yunani dari akar kata hermcneuin, yang berarti menafsirkan. Hermeneutika adalah metode penafsiran yang merupakan hasil dari perkembangan metode interpretasi mitologis, interpretasi teologis dan kini lebih dikenal dengan metode interpretasi filsafat. sebagai metode intepretasi teologis hermeneutika asalnya digunakan  sebagai interpretasi bible (BibLical interpreation) dan sebagai metode penafsiran filosofis digunakan untuk menafsirkan ilmu-ilmu humaniora. Secara filosofis teori hermeneutika hanya layak digunakan untuk penafsiran-penafsiran  teks-teks biasa dan tidak untuk kitab suci. Akan tetapi kaum orientalis yang berpengalaman dengan interpretasi bible ,mencoba melakukannya untuk Al-Qur’an. Ekperimen ini diikuit oleh Fazrurrahman, M.Arkoun, Shahrur Dan Nasr Hamid Abu Zayd. (Majalah Islamia, Vol.V No.1)
               
Hermeneutika menjadikan Al-Qur’an bukan lagi firman Allah yang harus di sucikan, tetapi Al-Quran kesuciaannya telah diporak porandakan oleh hermeneutika. Firman Allah disejajarkan dengan teks-teks biasa seperti karya tulis manusia biasanya.  metode interpretasi hermeneutika filosofis Abu Zayd menyimpulakan bahwa Al-Qur’an adalah produk budaya ( Muntaj thaqafi) fenomena sejarah (zahirah tarikhiyyah) teks lingustik (An-nass al-lughowiyyah) dan teks manusia an-nas al-insan). 

 Jurus yang digunakan oleh Abu Zayd dalam memporak porandakan kesakralan Al-Qur’an adalah dengan  mereduksi teks wahyu  al-quran menjadi teks-teks manusia biasa  yang tidak memiliki makna kesucian yaitu dengan  mengesampingkan nilai-nilai kewahyuan  yang terdapat di dalam Al-Quran.  Hal ini adalah syarat mutlaq agar Al-Qur’an bisa di porak porandakan secara habis-habisan  dengan analisa dan kritik teks dengan resep racikan hermeneutika filososfis.

 Asbabul wujud adanya hermeneutika

Dr. Adian husaini dalam tulisannya di majalah islamia thun 1 no 1 menukil dari The New Encylopedia Britania yang menjelaskan  bahwa hermeneutika adalah prinsip-prinsip general tentang interpretasi  bible (the study of the general principle of biblical interpretation). Tujuan asalnya dari hermeneutika adalah untuk menemukan kebenran  dan nila-nilai dalam bible.

Metode hermeuneutika memang pantas di gunakan sebagai metode tafsiran kitab bible atau kitab-kitab yang dibuat manusia. Kerena hermeuneutika menitik beratkan analisanya dan studi kritik teks terhadap sosio-kultur ketika teks itu di buat dan keadaan penulis waktu menulis teks tersebut.

Karena kitab bible dari sejak jaman dahulu di permasalahkan apakah benar kitab ini adalah firman tuhan?, ataukan ucapan manusia belaka. Maka seorang  intelektual Richard Elliot Friedman menulis buku yang di beri judul “ WHO WROTE  THE BIBLE “. Ini merupakan karya yang menghujat dan mempertanyakan ke sucian bible sebagai kitab suci, karena dalam fakta sejarah tidak di ketemukan siapakah sebenarnya yang menulsi bible itu.

Koar-Koarnya Abu Zayd Tentang Al-Qur’an Yang harus dihermeneutikasisasi

                Abu zayd menyimpulkan bahwa pembacaan teks-teks ke agamaan (Al-Qur’an Dan As-Sunah ) hingga saat ini masih belum menghasilkan penafsiran yang bersifat ilmiah dan objektif bahkan masih di kerankeng dengan mitos, khurofat, tahayul dan masih bersifat lieteral, alias terlalu kaku dengan berpegang pada teks. Oleh karena itu untuk dalam mewujudkan interpretasi yang hidup dan saintifik  terhadap teks- teks keagamaan, abu zayd menawarkan penafsiran rasional dan menekankan pentingnya kesadaran ilmiah dalam berinteraksi dengan teks-teks keagamaan (Abu zayd. Al-Qur’an Dihujat  hal.6)
               
 Maka dalam pandanganya tafsir-tafsir ulama yang ada hingga saat ini, termasuk kitaf tafsir ibnu katsir, tafsir ath-thobari dan kitab tafsir yang lainnya dari kalangan ulama  adalah sebuah karya tulisan yang masih terkungkung oleh mitos, tahayul, tidak ilmiah dan tidak rasional.

Penafsiran idiologis yang dkecam oleh Abu  Zayd adalah penafsiran yang mengutamakan tafsir ayat dengan ayat, ayat dengan hadist dsb. Tafsir yang model ini  adalah tafsiran yang tidak objektif dan tidak rasioanal, maka dengan gaya penafsirannya, abu zayd menolak pemaknaan jin,syetan dan hal-hal yang ghoib lainnya sebagai mahluk-mahluk yang indefenden di luar manusia. Tetapi menurutnya harus di maknai dengan makna kiasan, yaitu kekuatan jahat dalam diri manusia (Naqd Al-Khitob Hal 206).
               
Sedangkan interpretasi rasional yang diinginkan abu zayd adalah corak pendekatan interpretasi yang dilakukan oleh golongan sang pencerah  ( tanwiriyyun) dari kaum modernis yang sering disebut kaum sekuler. Karena pada intinya sekulerisme bagi Abu Zayd adalah tidak lain melainkan ajaran tentang  “ interpretasi realistis dan pemahaman yang ilmiah terhadap agama “. Dengan demikain abu zayd merombak makna sekuler  dan menolak tegas tuduhan kaum fundamentalis islam yang memandang golongan sekuler sebagai golongan yang memisahkan agama dari masyarakat dan kehidupan sosial. (Al-Qur’an di hujat. Hal. 23-24).
               
Jika kita ekplorasi lebih dalam terhadap pemikiran Abu Zayd, maka dasarnya konsep mitos Abu Zayd terpengaruh oleh pemikiran Rudolf Bultman (1884-1976) yang mencangankan demitologisasi terhadap perjanjian baru. Menurut Kang Bultaman Mitos hal-hal yang mencakup adanya mukjizat, adanya jin, syetan, dan hal-hal ghoib lainnya  harus di tafsirkan dengan rasionalis dan empirisme yang tidak di kungkung oleh dogma dan doktrin agama. Maka secara tidak langsung Abu Zayd  telah menyamakan Al-Qur’an yang suci dengan bible yang penuh dengan masalah. Dengan menggiringnya pada metode penafisran yang diaggap rasional. (hermeneutika filosofis). Inilah sebuah pelecehan yang terselubung.

Konsekuensi Terhadap Diretapkannya Hermeneutika Terhadap Al-Qur’an

Metode kritik sejarah yang terkandung dalam hermeneutika  bila diterapkan dalam Al-Qur’an maka akan membawa dampak yang berbahaya. Sebab teks Al-Qur’an akan diposisikan sejajar dengan teks-teks buku biasa lainya (argument kesetaraan jender perfektif Al-qur’an. Paramadina, hal 265-266).

Hukum-hukum yang sudah qot’i akan menjadi begitu pleksibel dan bisa di tarik ulur sesuai dengan  keadaan jaman dan waktu. Seperti alkhol atau babi yang sudah jelas haram akan menjadi boleh dimakan. Dengan rasionalisasi hermenutika. Al-kohol dilarang diwaktu jaman sahabat karena pada kondisi itu arab sangat panas dan akan membahayakan kesehatan. Berebda ketika kita tinggal di tempat yang begitu dinggin  alkohol di bolehkan. Karena melihat sosio-kultur ketika al-kohol itu di haramkan. Dan banyak contoh yang lainya.
Hermeneutika mengajak kita untuk kufur tanpa kita sadari. Karena kesimpulan  ekplorasi hermeneutika terhadap Al-quran adalah : al-qur’an adalah produk budaya (Muntaj thaqafi),  fenomena sejarah (zahirah tarikhiyyah) teks lingustik (An-nass al-lughowiyyah) dan teks manusia (an-nas al-insan). hal ini menghilangkan kesakralan firman ilahi.   Wallahu a’lam bishowwab

0 komentar:

Posting Komentar