Sabtu, 24 Maret 2012

MEMBONGKAR ESENSI SEKULARISME



MEMBONGKAR
ESENSI SEKULARISME


Terpuruknya islam sebagai sebuah sistem kehidupan yang sempurna didalam kancah pertarungan dunia, bukan semata-mata faktor dari dalam saja (interen factor ), tetapi ada faktor luar (extern factor), kita bisa lihat serangan-serang kaum anti islam melakukan  serangan-serangan untuk menghegemoni umat islam dengan makanan, pashion dan hiburan yang berkiblat ke barat. Hal itu semua mengadung Virus-virus sekularisme yang terpendam. Disini telah terjadi psywar (gojul fikri), yang sayangnya kebanyakan umat islam tidak meyadari bahwa sebenarnya kita sedang bertempur dengan antek-antek sekularisme yang bergerak sperti kaum undergrown.

 Esensi Virus Sekularisme

Sekularisme dilihat dari perfektif historisnya lahir dari millieu barat. Virus sekularisme muncul dan berkembang biak menjadi embrio-embrio sebagai reaksi terhadap kritinisme pada akhir abad pertengahan. Sekularisme adalah isme (paham atau aliran) dalam sebuah kultur budaya yang dapat kita identifikasi . Sekularisme merupakan paham atau aliran yang memusatkan kepada masalah-masalah dunia. Sekularisme merupakan paham yang sengaja mengasingkan dan menyisihkan peran agama atau wahyu dari hidup dan kehidupan manusia di dunia ini, secara simplenya,  nilai-nilai ilahiyyah jangan di bawa kedalam ranah dunia, negara dan masyarakat (Endang Saefudin Anshori,1973:7).

Sekularisme merupakan sebuah pandanagan hidup (way of life) yang menguburkan  nilai-nilai agama dari kehidupan manusia, mereka membatasi bahwa agama cukup ruang lingkupnya di dalam tempat-tempat peribadatan saja. Nilai-nilai agama jangan ikut campur dalam urusan-urusan diluar tempat ibadah. Sekuralisme telah mereduksi nilai agama khusunya islam secara perlahan tetapi pasti.  Buktinya manusia yang mengaku islam tetapi tidak mau mengunakan nilai-nilai islam dalam mengatur kehidupannya. Bahkan mereka lebih rela diatur oleh aturan-aturan yang dibuat manusia itu sendiri. Sungguh aneh bukan, aturan dari sang pencipta yang maha tahu apa yang terbaik untuk hambanya mereka tolak mentah-mentah sedangkan aturan-aturan yang dibuat manusia yang terbatas mereka rela  di atur olehnya.
               
Jika kita bongkar akar Sekuralisme sebagai sebuah pandangan hidup (world view), maka kita akan dapati didalamnya sebuah sistem keyakinan (kepercayaan), sisitem pemikiran, sisitem filosofis, sistem sains dan sistem idiologi.

Sekuralisme Sebagai Sebuah Sistem Keyakinan

                Esensi dari sekuralisme adalah menuhankan diri manusia. Bilieve it or not??. Coba perhatikan dan renungkan pernyataan-pernyataan dari para pemikir yang pembawa panji  sekuralisme.

v  Kaum filosof rasionalis, R.F. Beerling mengatakan : “ Alam semesta bergantung pada manusia, akal tidak merasa puas dengan pengetahuan obyektif semata-mata untuk pengetahuan itu, tetapi berhasrat untuk menguasai dunia alam dan sejarah. Oleh karena keinginan itu, maka permukaan bumi berubah seperti belum  pernah terjadi sebelumnya “. (abdul Qodir djaelani, sekuralisme versus islam, hal 2).
v  Aliran naturalis-humanis berpendapat bahwa  “hukum-hukum alam itu adalah bentukan manusia, sehingga mereka meyangkal segala bentuk yang supranatural, yang berperan sebagai pemberi hukum kepada alam semesta”.
v  Neo kantianisme berpendapat : ‘ hanya fikiran yang dapat menghasilkan yang sah berlaku sebagai wujud, demikian pikiran itu dapat disebut pencipta dan pembina dunia”.
v  Kaum ilmuan empiris, John lock dan David Home berkata ; “ hanya empiris atau pengalamn inderawi yang adapat diterima sebagai sumber pengetahuan dan seklaigus sumber kebenaran”.
v  Kaum mistik (irasional), Henri bergson ; “ bila kita telah menemui diri kita yang sebenarnya, maka kita akan menemui inti, hakikat dari segala kenyatan kebenaran yang berada disekitar kita, dan ini adalah prestasi dari intuisi”.

                Dari pendapat- penadapat diatas baik kaum pemikir yang menjadikan rasio sebagai ukuran tertinggi dalam menentukan parameter kebenaran, kaum ilmuan yang yang menjadikan pengalam indera /empiris sebagai ukuran tertinggi parameter kebenaran, atau bahkan kaum suffi yang menjadikan intuisi sebagai ukuran tertinggi dalam menentukan kebenaran tertinggi. Mereka semua telah menjadikan diri manusia sebagai tuhan, sebab, baik akal yang bersemayam di dalam otak, pengalaman yang bersemayam di dalam panca indera. Maupun intusi yang bersemayam di dalam hati, semua itu berada dan berpusat pada diri manusia. So. manusia sekuler telah menjadikan dirinya sebagai patokan kebenaran, secara tidak langsung mereka telah menuhankan dirinya sendiri.

Sekuralisme sebagai sebuah sistem pemikiran

Sistem pemikiran yang terkandung dalam sekuralisme adalah anthroposentris (anthro : manusia, sentris : pusat). Dalam artian menjadikan manusia pusat batu ujian tentang kebenaran dan kepalsuan memberi kriteria baik dan buruk, indah dan jelek (Ali syariati, 1983, 56).

                Apakah mungkin manusia yang memiliki keterbatasan, mahluk yang tidak luput dari kesalahan dijadikan patokan kebenaran. Bahkan manusia belum bisa mengekplorasi kedalam dirinya sendiri secara mendalam. Apalagi dipaksakan menetukan sebuah kebenarah hakiki. bahkan Manusia masih misteri bagi dirinya sendiri. Jika kita amati pendapat-penadapa para ahli fikir, filosof ilmuan kita akan dapati pernyataan itu. Alexis careel : ‘ manusia sebagai yang belum dikenal. (Ali Syariati, 1983, 56)

P. leenhowers ; “ betapa besar usaha manusia menyelami dirinya dan bermenung tentang dirinya, selain ia akan berhadapan dengan kegelapan hidupnya, manusia tidak pernah berhasil menembus nya secara menyeluruh, ia menjadi orang asing bagi dirinya sendiri, hidupnya penuh dengan misteri “.

Sekuralisme sebagai sebuah sistem filosofis

Dari sisitem pemikiran anthrosentris, yaitu menjadikan manusia sumber penentu kebenaran, penentu mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang dikatakan indah dan mana yang dikatakan buruk, maka sekuraliasme hanya mengandalkan akalnya saja sebgai satu-satunya narasumber dalam mendaki kebenran hakiki, dengan metode spekulasi, radikal menukik kepada hal-hal dibalik realitas , semuanya hanay tunduk pada logika akal, narasumber  lainnya seperti intusi  dan empirisme disingkirkan jauh-jauh.
               
                Jika kita menerawang sejarah ke jaman para filosof kita akan dapati pendapat-pendapat yang berebeda antara satu flosof dengan filosof yang lain dalam menginterpretasikan hakikat kebenaran, Thales menyatakan bahwa hakikat kebenaran dunia ini adalah air, anaximandros berpendapat apoiron : sesuatu yang tidak serupa dengan apapun, anaximenes berpendapat udara, Heraklietos berependapat tuhan yang esa yang tidak bergerak dan mengisi seluruh alam, parmanides berpendapat pikiran, pyhthagoras berependapat tuhan emperdoklas berpendapat udara, api, air, tanah. (Muhammad hatta, 1958, 5-43).
               
Pendapat-pendapat para filosof yunani kuno diatas berebeda dengan para filosof abad modern seperti plato yang berpendapat bahwa hakikat kebenaran adalah cita, aristoteles berpendapat entologi, spinosa berependapat subtansi, hegel berepndapat roh, Karl marx berpendapat perjuangan  kelas, schopenhouer berpendapat kemauan, henri bergson berpendapat elanvital, (Abdul Qodir Jhaelani, sekularisme versus islam, 1999, 4).
               
 Perbedaan pendapat antara satu pemikran dengan pemikiran tidak lah aneh dalam dunia filsafat, karena subtansi dari filsafat adalah berfikir secara radikal tentang hakikat sesuatu. Maka akan lahirlah  hasil perenungan yang berbeda, ciri khas dari filasat adalah perbedaan pedapat,  jika semua filosof mengeluarkan statement yang sama dari hasil ekplorasinya maka filsafat akan mati. Karena tidak ada lagi kontfrontasi pemikiran. Filsafat hidup karena adanya konfrontasi antara satu pendapat pemikiran dengan pemikiran yang lain.

Kegagalan Sekuralisme Dalam Membina Dunia

Muhammad natsir berkata “demikian keadaan manusia modern yang bersifat ilmiah, berjiwa kemanusiaan dan berpendangan hidup sekular itu, yang dalam suatu jaman lampau mendakwakan dirinya telah memeberi penyelamatan kepada umat manusia dari apa yang dinamakan  “tiraninya takhayaul agama dan gereja”, kini peradaban modern menyadari bahwa keadaan tidaklah damai lagi, karena dia dibelenggu nafsu materi yang tidak ada batasnya dan senantiasa disibukan segala macam ambisi yang tidak terkendali hampa dari setiap bimbingan spritual, ruang hampa dalam  jiwa manusia telah menjerit, meminta bimbingan spritual , agar membuat kehidupn ini cukup bernilai untuk dijalani. Dengan kata lain manusia sekerul itu telah mengalami  “ kehampaan spritual (spritual vacuum)”, kelaparan spritual, yang tidak kalah berbahayanya dari kelaparan jasmani, (Muhammad Natsir. 1980, 15-16).

                Islam adalah problem solving “ jalan keluar” menuju kehidupan yang berperadaban tinggi yang menjungjung nilai spritual, nilai kemanusiaan  dan nilai intelektual. Islam adalah agama yang sudah paripurna, sebuah way of live yang diturunkan dari sang penguasa alam untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat. Wallahu A’lam Bishowwab

0 komentar:

Posting Komentar