Kecintaan kepada Allah
Ketergantungan cinta kepada sang kholik seharusnta
tidak boleh terhalang oleh kecintaan kepada selainnya, baik kecintaan kepada
tahta, harta maupun wanita. Kecintaan kepada sang Kholik akan menjadikan jiwa
seseorang berpaling dari selainnya. Karena dia menyadari bahwa kecintaan kepada
selain Allah adalah kecintaan yang fana, sebuah cinta fatarmogana yang akan
hilang seiring berjalannya waktu. Harta yang kita cintai tidak akan mengiringi
kita sampai kenegri akhirat, tahta yang kita agungkan di dunia tidak akan
menyelamatkan dari hari pembalasan dan wanita yang kita idolakan tidak akan
menemani kita masuk kubur ketika kita tidak bernyawa lagi. Semua itu adalah
kecintaan yang fana. Hanya kecintaan kepada Allah lah yang akan menyelamatkan
kita dan akan membawa kita ketempat yang terindah di negri keabadian.
Rasa cinta yang dalam kepada sang kholik akan
membuahkan rasa rindu dan menimbulkan
gejolak yang membakar jiwa. Manusia yang memiliki hati jernih, jiwanya hanya
diisi oleh kecintaan kepada Allah swt tidak tetipu dengan kecintaan yang
bersifat materi. Tetapi manusia yang arif cintanya menerobos dunia materi. Dia
mencintai apa yang dimilikinya bukan berdasarkan kecendrungkan hawa nafsu dan
ambisi. Tetapi cintanya berlandaskan kecintaan kepada Allah. Apakah anda mampu membayangkan
seseorang yang mencintai segala seseatu karena Allah. Seseungguhnya itulah
kecintaan yang seseungguhnya. Semua dilandaskan kerena kecintaanya kepada
Allah. Sungguh manusia seperti itu adalah manusia yang unggul. Unggul karena
tidak tertipu dengan kecintaan shahwat dan kepentingan diri.
Kecintaan kita kepada manusia seringkali membuat kita
terluka, karena manusia adalah mahluk yang tidak luput dari kesalahan. Tetapi
rasa sakit tidak akan dialami oleh insan yang mencintai karena Allah swt.
Apapun yang terjadi diluar pengaruhnya dia tetep ajeg berdiri bagaikan karang
yang berdiri kokoh di lautan. Ya... karena orintasinya adalah Allah swt.
“Aku mencintai kekasihku, tak tercela aku karena
cintaku kepadanya, namun mencintai mereka, banyak cela yang aku derita” itulah ucapan Rabiatul adawiyah. Disela-sela
kholwatnya bersama sang ilahi.Seseorang yang sudah dekat dengan Allah swt
mungkin saja merasakan kecintaan yang sangat khusu sehingga kecintaannya jauh
ke luar alam sadar manusia, seorang ahli makrifat sudah tidak lagi berurusan
dengan maksiat dan dosa. Dia beristigfar memohon ampunan ketika dia lupa dari
mengingat Allah.
Kecintaan yang khusu saat bercumbu dengan Sang ilahi bisa di analogikan dengan seseorang yang sedang menikmati makanan lezat dan minuman yang menyegarkan, saat itu akal tidak lagi berfikir dan memikirkan bagaimana makanan itu dibulak-balik dalam mulutnya dan bagaimana pula mulutnya mengunyah dan menelannya. jiwanya sudah bersatu denga kelezatan itu sehingga melupakan dirinya dan apapun yang disekitarnya.
Manusia yang memiliki tingkat kesadaran yang tinggi (Arbab
Al-Yaqzhah) akan selalu mencurahkan cintanya kepada sang kholik tanpa
pernah diminta dan dituntut, rasa cintanya telah tertanam dan tumbuh dengan
tulus dari dalam hati, mereka senantiasa
merasakan kenikmatan dan makna hidup yang dalam dan terhindar dari perbudakan
dunia, baik ketika dia memilikinya taupun tidak.
Karakter manusia yang hidup dalam kesadaran, mereka
selalu meningkatkan semakin baik dari segi kualitas diri dan kehidupannya.
Mereka tak mau berhenti dan terpukau dengan fatamorgana dunia. Karena mereka
sadar kenikmatan fana dunia pada akhirnya akan berakhir dan bersifat sementara.
Jiwanya tidak mau berpeluh keringat untuk mencapai kenikmatan sementara. Tatapi
jiwanya mengingninkan kecintaan yang lebih dari itu. Kecintaan kepada sang
kholik yang mereka tancapkan di dalam jiwanya, itulah kenikmatan hidup yang
sebenarnya. Seperti perkataan Imam Al-Ghozali
“bahagia dan kelezatan yang sejati, ialah apabila dapat mengingat Allah,
Kelezatan dan kebahagian tertinggi adalah ketika berma’rifatullah karena,
kebahigaan dari hal tersebut bersandar pada sesuatu yang maha indah dan maha
abadi, berbeda dengan kebahagiaan yang bersandar pada kelezatan dunia semata
yang bersifat materi yang semuanya hanya bermuara pada kepuasaan nafsu semata.
Dan kebahagiaan karena akibat terpuaskan nafsu bersifat sesaat dan biasanyaa
menyesakl yang berkepanjangan. Ketika ketika kita memebrikan segala sesuatu
untuk terpuaskan nafsu, maka sang nafsu tidak aka merasa kenyang.
Manusia yang hidup dalam kesadaran senantiasa berfikir tentang hal yang
lebih besar, lebih jauh dari yang ada. Mereka jiwanya akan selalu bergerak naik
dan menanjak setiap kali mereka melihat sesuatu yang bisa diambil pelajaran
darinya. Manusia yang malas dan lalai akan selalu berada dalam kerugian. Akal,
hati, dan fikirannya beku dan kaku. Mereka akan selalu di dera kebingungan,
kejumudan dan kegelisahan dalam hidupnya.
“ Jika hambaku bertanya tentang aku.. maka katakanlah sesungguhnya aku
dekat...
bahkan lebih dekat dari urat leher “
0 komentar:
Posting Komentar