Karakteristik
Kepemimpinan Politik Islam
Oleh : Misbahuddin
Kepemimpinan politik islam adalah
kepemimpinan yang unik. Islam sebagai sebuah worldview mampu menggabungkan
kepemimpinan yang bersifat horizontal dengan kepemimpinan yang bersifat
vertikal, atau istilah lain kepemimpinan yang mengagabungkan kepemimpinan dunia
dengan kepemimpinan akhirat.sebagaimana yang dikatakan Imam Al-Gojali, bahwa
islam dan negara adalah ibarat dua saudara kembar.islam adalah aqidah spritual
dan aqidah siyasah/politk.
Berlainan dengan worldview lain di dunia
ini yang hanya mampu memenuhi satu unsur, dunia saja atau akhirat saja.
Agama-agama selain islam hanya mengatur
hubungan antara individu dengan tuhannya, tidak mengatur hubungan sosial secara
sempurna di masyarakat yang tertuang dalam aturan politik, ekonomi, pendidikan,
dan lain-lain.
Idiologi sekuler maupun komunis justru
menafikan tuhan dalam ranah politik, atau tidak
memberi tuhan kesempatan untuk
mengatur kehidupan. Dengan demikian, hanya islam yang memiliki sebuah
konsep kepemimipinan politik menuju kebahagiaan akhirat dengan tidak
mengesampingkan kepemimipinan dunia untuk mencapai sebuah kemaslahatan hidup
manusia. Baik kemaslahatan itu untuk muslim atau pun non muslim, sebagaimana
ketika terwujud sebuah negara islam di madinah yang dipinpin oleh nabi Muhamad
langsung sebagai pemimpin agama, sekaligus pemimipin kepala negara.
Secara ringkas, karakteristik kepemimpinan politik
islam dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Kemepimpinan Islam Ditegakan Untuk
Menerapakan Hukum Allah.
Tidak seperti kepemimipinan di dalam
sisitem demokrasi yang dimana kepemimpinan tegak untuk menerapkan kehendak
rakyat, yang populer dengan istilah “dari rakyat, oleh rakyat, untuk
rakyat ”, kepemimimpinan islam ditegakan untuk menjalankan
kehendak-kehendak Allah yang tertuang dalam syariatnya secara kaffah, Allah
berfirman :
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”.(QS. Al-Maidah : 44) “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut
apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasiq”.(QS.
Al-Maidah : 47) “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dholim”.(QS.
Al-Maidah : 45)
Dalam demokrasi, aturan dibuat berdasarkan
kehendak dan kesepakatan rakyat melalui
wakil-wakil mereka di parlemen. Kedaulatan dan kekuasaan dalam demokrasi adalah
milik rakyat. Suara rakyat adalah suara tuhan.
Adapun dalam islam, kekuasaan memang milik
rakyat yang akan mempercayakan kepada siapakah tonggak kepemimpinan itu
diberikan kepada salaseorang diantara mereka untuk menjadi pemimipin. Tetapi
kedaulatan dalam islam hanya milik Allah swt, apa-apa yang digariskan oleh-NYA
maka konsensus manusia tidak dapat membatalkannya, manusia berhaq berkonsensus
terhadap apa-apa yang tidak Allah atur di dalam syariatnya.
Allah berfirman : “sesungguhnya haq membuat
hukum adalah hanya milik Allah swt” (QS,Yusuf : 40).
Oleh karena itu, pemimpin diangkat dan
dibai’at oleh rakyat untuk menerapkan hukum-hukum Allah tersebut. Tidak ada
sebuah batasan yang jelas. Karena itu hal ini merupakan indikasi bahwa hukum
Allah itu harus di jalankan dalam perbagai hal dan seleuruh aspek kehidupan.
Tanpa seorang penguasa yang menjalankan hukum Allah. Banyak aturan islam yang
akan “tersingkirkan” jika tidak ada pemimpin yang menerapakannya dalam level
politik atau kekuasaan negara.
2. Kepemimpinan islam adalah kepemimpinan
tunggal
Dalam khazanah politik islam tidak dikenal
adanya pembagian kekuasaan. Kekuasaan berada ditangan khalifah mutlaq. Seluruh
kaum muslimin wajib taat dan menyerahkan loyalitasnya hanya kepada seorang
pemimpin saja, yaitu imam yang telah dibai’at secara sah. Rasullulah bersabda :
“siapakah yang telah membai’at seorang
imam/kholifah, lalu ia memberikan uluran tangan dan buah hatinya, hendaknya ia
mentaatinya jika ia mampu. Apabila ada orang lain hendak merebutnya (kekuasaan
itu) maka penggallah leher orang itu”.(HR.Muslim)
“apabila dibai’at dua orang kholifah, maka
bunuhlah yang terakhir dari keduanya” (HR.Muslim).
“siapakah saja yang datang kepadamu
sekalian, sedangkan urusan kalian berada di tangan seorang kholifah, kemudian
ia ingin memecah belah kesatuan jamaah kalian, maka bunhlah dia.
(HR>Muslim).
Dengan keterangan diatas maka jelaslah
bahwa kepemimpinan dalam islam bersifat tunggal, tidak ada pembagian kekuasaan
(separation of power) di dalam islam,
sebagaimana konsep trias politika dalam pemerintahan demokrasi. Tanggung jawab
kepengurusan masyrakat ada di pundak imam/ kholifah yang sah, yang ada adalah
pendelegasian tugas oleh kholifah kepada pihak-pihak tertentu untuk membantu
tanggung jawabnya dalam memimpin negara,seperti adanya para mu’awin, wali, dan
amil, dll.
3. Kepemimpinan islam bersifat universal
Kepemimpinan islam tidaklah bersifat lokal
atau regional, melainkan, ruang lingkupnya internasional atau universal. Dengan
adanya seruan dakwah dan jihad yang menjadi asas politik luar negri negara islam, maka sanagat
memungkinkan batas wilayah negara islam akan selalu melebar sehingga bisa mencakup seluruh dunia. Allah
swt berfirman : “dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada uamat
manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pembawa berita peringatan,
tetapi kebanayakan manusia tidak mengetahuinya”. (QS. Saba : 28)
Rasullulah saw bersabda “Aku diutus
untuk bangsa yang berkulit merah hingga berkulit hitam”. (HR.Imam Ahmad).
Maka tidak mengherankan, apabila para
pengemban dakwah bisa mencakup seluruh dunia, sebagaimana sampainya risalah
islam ke negri indonesia melalui para pengemban dakwah islam yang dikirm
kholifah melalui amilnya. Untuk mewujudkan Al-lislam yang menjadi rahmatan lil a’lamin dengan menyeru
manusia kepada islam atau minimalnya
bergabung menjadi warga negara islam, karena negara islam mengakui warga negara
non muslim (ahlu dzimah) dalam wilayahnya dengan jaminan terjaganaya darah,
harta dan kehormatan mereka.
Mudah-mudahan tulisan ini bisa menambah
khazanah pemikiran politik kita, dan bisa menjadi study comparatif untuk
mengimbangi konsep-konsep pemikiran politik sekuler dan liberal yang tidak
terasa sudah mencekoki para generasi muda, bahkan generasi muda yang mempunyai
label “mahasiswa islam”. Sehingga mereka lebih bangga terhadap teori-teori dan
konsep-konsep pemikiran yang datangnya dari barat tanpa melakukan “rekontruksi
konsep” dan menelan bulat-bulat apa-apa yang datang dari barat (take for
granted) tanpa tindakan yang kritis.wallahu a’lab bishowwab.. (to be continiued)
0 komentar:
Posting Komentar